Langsung ke konten utama

Tory - Last Part

 Hari ini hari yang paling gue tunggu. Sayangnya Laura dijemput oleh orang tuanya dua hari sebelum hari acara tunangan dilaksanakan.

"Gimana bro mau meninggalkan status single dan playboy wahid?" Goda Sammy begitu masuk ke ruang ganti di lantai 2 rumah gue.

"Sangat bahagia" Jawab gue ga peduli dengan godaannya. "Lo kapan nyusul? Mau sampai kapan lo jadi playboy terus?"

"Sampai gue puas. Lagian orang tua gue ga ngeburu gue buat nikah."

"Selamat, ka" Sean masuk dengan senyum lebar. "Gue bakal jadi groomsman ga nanti pas lo nikah?"

"Pasti. Kakak lo juga." Jawab gue sambil menepuk bahu Sean. "Kakak lo datang?"

"Datang. Masih di bawah ngobrol sama ka Mickey, Bryan dan ka Audrey."

"Audrey datang?" Gue dan Sammy sama-sama terkejut. Gue ga nyangka Audrey bakal hadiri undangan dari gue. Ia terkenal malas datang kalau ga sangat penting.

"Iya, mereka ada di bawah."

"Apa sudah?" tanya gue ke penata pakaian yang selalu menjadi langganan keluarga gue.

"Sudah oke semuanya." Ucapnya sambil tersenyum lebar. Puas dengan hasil karyanya.

"Terima kasih, om."

"Sama-sama. Kalau begitu aku permisi dulu. Om juga mau siap-siap datang ke acara kamu"

"Iya, om."

"Acara lo besar-besaran. Kayak pesta pernikahan."

"Kan gue paling terakhir nikah di keluarga gue. Laura juga putri satu-satunya di keluarganya. Biar orang tua kami puas dan senang sampai pesta pernikahan nanti."

"Lo ga ada sumbang pikiran sedikitpun?"

"Ga, gue setuju semua pendapat Laura. Kalau Laura ga cocok dengan pendapat dari mami kami, gue berpihak ke dia."

"Belum nikah aja lo sudah jadi bucin istri." Ejek Sammy yang ga gue anggap. Dia ga akan tau kalau belum ketemu dengan orang yang tepat.

Jangankan pendapat, asal bikin orang yang kita cinta senang aja, gue juga ikut senang melebihinya.

"Bintang utama malam ini sudah datang!" Sambut Bryan menghampiri gue begitu keluar dari lift. Memeluk gue sambil menepuk keras punggung gue.

"Gue pikir lo bakal turun tangga kaya biasanya anti pakai lift." Ejek Vino sambil memeluk gue.

"Kaki gue masih belum bisa banyak gerak."

"Selamat, Tor." Audrey memeluk dan menepuk punggung gue.

"Gue pikir lo ga datang."

"Mana mungkin gue ga datang menyaksikan acara lamaran lo dengan cewek yang dulu lo benci" Ucapan Audrey sukses bikin gue mengerang malu.

"Jangan ingat itu lagi!"

"Ga akan. Ini bakal jadi cerita yang terus kita ingat seumur hidup lo." Mickey menepuk bahu gue. "Selamat menjilat ludah, sahabat gue" ejek Mickey sukses bikin gue jadi bahan tertawaan sahabat gue.

"Sial lo semua. Puas lo ejek gue!"

"Belum, bro. Masih ada satu lagi. Taruhan kita."

Agh! Gue lupa. Gue pernah taruhan itu dengan mereka. "Gue pasti bakal lakuin!"

"Bagus. Sebagai hadiah dari teman-teman lo, bulan madu lo kita biayain ke Swiss." Ga mungkin mereka semurah hati begitu. "Bareng kita" lanjut Bryan yang bikin gue kesal.

"Lo cuma mau lihat gue budge jumping doang, kan?"

"Tentu aja bro. Lo pikir ngapain kita mau ke Swiss? Nonton lo bulan madu?" Balas Sammy yang diiringi tawa ejekan yang lain.

"Tenang, jangan emosi dulu. Bukan cuma Swiss, kita biayain lo bulan madu kemana pun lo dan Laura mau." Ucapan Vino berhasil meredakan amarah gue

"Thanks, bro." Gue ga akan sia-siain kesempatan untuk memilih tempat yang bagus tentu dengan semua fasilitas yang mahal.

"Lo sudah siap?" Tanya ka Marvin keluar dari lift bersama ka Livia dan dua keponakan gue yang lucu.

"Sudah, ka."

"Kalau begitu kita berangkat. Papi, mami, kakek dan nenek sudah duluan naik mobil."

Gue melirik jam tangan gue. 1 jam lagi acara gue. "Ayo, berangkat." Gue mengajak sahabat-sahabat gue berangkat dengan mobil kami masing-masing. Hanya Sammy yang satu mobil dengan gue.  Ia meminta sopirnya standby dan menjemputnya setelah acara selesai.

"Gimana Opa dan Oma lo? Mereka datang?"

"Ya, mereka datang." 

Oma datang meminta maaf dengan kami. Ia menyadari kalau Paris bukan pasangan yang baik untuk gue. Walaupun oma menyesal, gue tahu kalau ia memaafkan Paris. Ia meminta opa untuk ga marah dengan Paris.

Awalnya gue kecewa dengan tindakan oma. Tetapi setelah mendengar kalau oma ga mau ada hubungan lagi dengan Paris dan keluarganya, gue lega. Sayangnya, oma dan opa tetap berhubungan baik dengan keluarga Daris. 

Mereka ga bisa memutuskan hubungan karena opa berjanji pada sahabatnya untuk menjaga anak dan cucunya. Membantu mereka jika mereka membutuhkan pertolongan opa. 

Sayangnya, meskipun Hendrik dan Arden mengekploitasi kebaikan dan janji opa, papi tetap menyerang perusahan mereka. Ga peduli opa meminta untuk berhenti. Ga peduli seberapa besar opa membantu perusahaan itu ga hancur, papi terus menyerang sampai akhirnya Hendrik dan Arden berjanji kalau mereka ga mengganggu perusahaan kami lagi.

Tentu aja kami ga semudah itu percaya dengan perkataan orang licik seperti mereka. Papi punya banyak bukti kecurangan dan kejahatan yang dilakukan perusahaan mereka. Jika mereka berani macam-macam dengan kami, papi akan menyerahkannya ke pihak berwajib. Bahkan dengan kekuatan opa pun ga akan bisa membebaskan mereka. 

"Akhirnya lo ga akan ada yang menghalangi buat nikah dengan Laura."

"Ya, gue harap acara gue sampai selesai pernikahan semua lancar. Ga ada halangan apapun."

"Lo tenang, bro. sebagai teman-teman lo yang pengen lo bahagia, kita pasti kawalin lo dan Laura sampai lo bedua nikah."

Mendengar ucapan Sammy buat gue tenang. Mereka semua memiliki koneksi dan bisa diandalkan. Jika mereka berjanji untuk membuat semua berjalan lancar, maka siapapun yang berniat menggagalkan hubungan gue dan Laura bakal menyesal.

"Sebenarnya Paris pengen rusak acara lo hari ini."

"Paris?" 

"Ya. Dia mau gagalin acara tunangan lo. Beruntung Sean tahu dan kasih pelajaran ke Paris."

"Kasih pelajaran gimana?"

"Dia menghalangi Paris datang dan berteriak kalau Paris tidur dengan banyak cowok. Bukan cuma itu, ia punya bukti foto dan video yang disebar pasangan Paris. Kalau Paris tetap nekat, ia bakal kasih bukti itu ke media."

"Pintar juga Sean" Hah! Cewek seperti itu memang harus diberi pelajaran! Ingin menghancurkan acara orang lain tapi ia sendiri lupa kalau ia bisa dengan mudah dihancurkan.

"Satu lagi, gue dengar ayah Paris minta pertanggung jawaban Arden."

"Paris hamil?" Dia tahu hamil tapi ingin menghancurkan hubungan gue? "Maksud lo Paris mau bilang ke semua tamu undangan kalau yang ada di perutnya anak gue?"

"Iya, bro. Tapi gue, Vino dan Mickey dapat bukti kalau Arden dan Paris sering keluar masuk hotel dan apartemen Arden. Cuma Arden yang dekat dengan Paris. Vino kasih semua bukti itu ke ayahnya Paris."

Gue menahan diri untuk bertepuk tangan. Beruntung gue punya sahabat yang bisa lindungin gue dari rencana jahat mereka. Walaupun nanti gue ga terbukti menghamili Paris, tetap aja acara gue akan menjadi lelucon. Membuat keluarga gue dan Laura malu di hadapan tamu undangan yang kebanyakan orang penting. 

"Gue akan ucapin makasih ke Sean dan Vino. Makasih juga Sam. Kalau lo ga kasih tau gue, gue ga tau lo semua menyelamatkan nama baik keluarga gue dan Laura."

"Sama-sama, bro. Lo dulu juga waktu kita dalam kesulitan, selalu bantu kita."

Gue menepuk pundak Sammy. Beruntung gue memiliki sahabat yang menganggap gue seperti saudara mereka. Gue harap sampai tua kami tetap bersahabat dan membantu satu sama lain.

******

Laura terlihat sangat cantik sekali. Lebih cantik dari biasanya. Auranya sangat menawan bikin gue ga memperhatikan acara yang sudah dimulai dari tadi. Tatapan gue ga lepas dari Laura. Kalau engga mami menyenggol tangan gue, gue lupa berdiri dan memasangkan cincin di jari Laura. 

Gue sengaja memesan khusus untuk Laura. Mendesain cincin kami di toko khusus yang terkenal dengan reputasinya. Selain itu mami juga memilih satu set perhiasan yang akan Laura pakai saat di pesta pernikahan. Menyerahkannya pada mami Laura. 

"Apa lo capek?" Tanya gue ke Laura yang setelah prosesi acara selesai, kami menemui semua tamu undangan. Mengucapkan terima kasih kami kehadiran mereka.  Bahkan Opa dan Oma pun yang awalnya canggung saat kami mendatangi mereka, memberi restu pada kami.

Kami dapat duduk saat semua tamu undangan menyantap hidangan yang disediakan. berbincang dengan rekan bisnis dan teman-teman mereka. 

"Ga, gue ga merasa capek sama sekali. Malah gue senang." Jawab Laura sambil tersenyum lebar. "Teman-teman lo kesini."

"Selamat Tory, Laura," Bryan yang biasa suka mengejek gue langsung ramah di hadapan Laura. Dulu ia sangat sinis kalau berhadapan dengan Laura. Sekarang sebaliknya.

"Makasih" Laura menyalami sahabat-sahabat gue satu per satu.

"Lo berdua, gue ga nyangka kalau lo benaran serius sampai nikah." Ucap Andy yang terlalu terus terang ungkapin pikirannya. Walaupun gue pengen marah, tapi di hari bahagia gue maafin dia.

"Lo pikir gue cuma bisa main-main?"

Mereka memandang gue sambil tersenyum mengejek. Sial! 

"Selamat Tory" Tom datang melewati sahabat gue dan memeluk gue. "Selamat Laura." Tom menyodorkan tangannya ke arah Laura yang disambut.

"Lo berdua..." Tom memandang kami beberapa detik. "Kabar loberdua terlalu fenomenal di teman-teman SMA kita."

Siapa yang tahu kalau jodoh gue memang di Laura. Sebenci apapun dulu ke Laura sampai bikin Laura pindah sekolah dan bisnis keluarga hancur, ternyata gue takluk padanya. 

"Daripada lo ejekin gue dan Laura lebih baik lo menikmati hidangan." Usir gue yang dibalas dengan sorakan dan ejekan dari sahabat gue.

"Lo ga suka teman kita di sekolah dulu bicarain kita?"

"Ga, bukan itu, Gue ga mau lo merasa ga nyaman diejek mereka. Kalau gue sudah biasa tapi lo kan pasangan gue. Gue ga mau lo ga suka dengan omongan mereka."

"Gue ga apa-apa. Gue malah merasa lucu. Dulu gue ngejar lo sampai-sampai gue ngelakuin hal yang ngebahayain lo."

"Gue benar-benar nyesal waktu itu. Tapi gue ga bisa minta maaf ke lo. Lo benci dengan gue."

Gue memeluk Laura. Memeluknya erat. Sekian tahun gue selalu membenci dan menghindarinya. Ga peduli dengan perasaannya. Sekarang setelah gue bersamanya, gue hanya bisa menyesal dan memaki kebodohan gue. 

"Maaf, dulu gue terlalu jahat ke lo sampai lo bertindak kayak gitu dulu."

"Gue yang harusnya minta maaf." Laura mengeratkan pelukan kami. Gue mengecup kepala Laura. 

"Kalau begitu kita saling memaafkan." Laura tersenyum sambil mengangguk. 

Gue melepaskan pelukan kami. Di belakang Laura gue melihat Vio dan Kelly berjalan menuju ke arah kami.

"Lau, Vio ada disini. Lo udah dengar kan kalau Vio dan Kelly menikah. Kelly sepupu gue. Jadi dia dan Vio diundang."

"Ya, gue tau. Gue sudah lama mau bertemu dengannya tapi gue khawatir dia ga akan maafin gue."

"Gue akan temanin lo." 

"Tory, Laura" Panggil Vio berdiri di dekat kami. Seperti biasa ia hanya tersenyum tanpa ada dendam sedikit pun. "Selamat atas tunangan kalian."

"Makasih, Vio" Ucap Laura terdengar canggung.

"Selamat Tory, Laura" Kelly mengucapkan selamat sambil mengendong anak mereka yang masih balita.

"Kalau dia ngantuk, kalian bisa istirahat di kamar. Kami sudah booking dua lantai di atas untuk keluarga istirahat." Gue mengelus kepala keponakan gue yang lucu. 

"Iya, nanti kita ke atas." Kelly memperlihatkan wajah anak perempuannya ke arah gue. Cantik. Gue berharap punya anak perempuan yang cantik mirip Laura.

"Vio, Kelly, gue mau minta maaf" ucap Laura sebelum Vio dan Kelly membawa putri mereka beristirahat di atas. 

"Kami sudah maafin lo dari dulu." Balas Vio sambil tersenyum ke arah Kelly. "Lagian itu waktu kita masih remaja. Sudah lama lewat. Malah gue mau terima kasih. Karena lo gue jadi kenal Kelly dan menikah dengannya."

"Gara-gara gue?"

Vio tersenyum malu. "Dulu pas gue kekunci di gudang, gue ditolong Kelly. Terus waktu di gua, gue jalan dampingan dengan Kelly juga. Terus pas lo ngomong di hotel waktu itu Kelly yang semangatin gue."

"Oke" Laura melirik gue yang tersenyum sambil memegang punggungnya. Memberinya semangat dan tetap tenang untuk ga memasukan kata-kata Vio dalam hati.

"Karena itu, makasih Laura. Gue dapat jodoh yang sangat berharga. Gue harap lo dan Tory juga mengganggap pasangan lo terus berharga."

"Makasih, Vio."  Tentu aja gue menganggap Laura sangat berharga. Terlalu berharga. 

"Kami ke atas dulu. Nanti kapan-kapan kita ketemuan makan bareng."

"Ya, kabari aja." Balas gue ke Kelly sebelum mereka ke lantai atas. 

"Lo speechless dengan ucapan Vio?" Goda gue ke Laura yang terdiam lama.

"Iya, dia ga berubah sama sekali." Ucapan Laura bikin gue tertawa terbahak.

"Memang ga ada berubah. Teman-teman kita dulu hanya berubah kalau bucin. Selain itu, kelakuan kekanakannya masih sama."

Laura tertawa menanggapi perkataan gue. "Menurut lo seandainya waktu bisa diputar dan gue ga lakuin hal yang jahat ke Vio, apa semua bisa lebih baik dan kita bersama?'

"Entah. Tapi setiap waktu ada masanya dan ada baiknya. Setidaknya sekarang kita lebih menghargai perasaan dan hubungan kita setelah kita melewati hal yang kurang menyenangkan. Dewasa dan kuat setelah ditempa waktu."

"Kalaupun kita bersama dari dulu, mungkin lo dan gue akan goyah dengan ancaman opa karena kita terlalu muda. kita ga punya kekuatan dan pendirian yang kuat."

"Lo benar. Setiap waktu ada masanya dan terbaik untuk kita. Bersyukur karena takdir menyatukan kita."

"Ya, bersyukur karena takdir menyatukan kita." Gue mengecup punggung tangan Laura. "Bersyukur lo masih mempertahankan cinta lo." Gue mengecup telapak tangan Laura. 

"Laura, gue cinta lo. Gue ga akan melewatkan waktu sedetik pun untuk berhenti mencintai lo." Mungkin ucapan gue sangat klise. Waktu sangat lama untuk akhir hidup kami. Tapi gue akan pernah berhenti apapun rintangan saat kami berumah tangga nanti. Gue akan menepati janji.

"Gue juga cinta lo, Tory. Dari dulu sampai kapanpun." Laura memeluk gue. Ga peduli kami menjadi pusat perhatian. Ga peduli dengan sorakan dari orang-orang yang hadir. 

Waktu itu, detik ini sangat berharga untuk gue. Menikmati momen yang akan selalu gue ingat sampai kapanpun. Mengingat hanya satu wanita yang menaklukan hati gue setelah ia mencoba bertahun-tahun, menunggu gue sekian tahun dan sekarang, gue yang akan membalas perasannya. Mencurahkan semua perasaan gue kepadanya. Hanya pada Laura Valencia.

The End

Previous       Index     

Komentar