Langsung ke konten utama

Tory - Part 15

 "Bagaimana keadaan oma?" Tanya Laura menyambut gue pulang dari rumah sakit.

"Keadaannya sudah stabil. Masih dalam pemantauan. Kalau kondisinya semakin membaik, oma diperbolehkan pulang."

"Beruntung oma cepat ditangani. Kalau engga, oma bisa dalam keadaan bahaya."

"Semoga oma cepat sembuh,"

"Ya, semoga. Ayo masuk ke dalam." Ajak gue yang sangat lelah setelah semalaman di rumah sakit.

Laura mendorong kursi roda gue menuju ruang makan. Hanya kami yang ada di rumah. Papi, mami dan kakek masih di rumah sakit menemani opa menjaga oma. Walaupun kakek sudah diminta pulang bersama gue, tetap kakek menolak. Ia ingin jadi penengah kalau-kalau opa melampiaskan amarahnya ke papi dan mami yang ga bersalah.

Laura menghentikan kursi roda di depan meja makan. Lalu mengambil posisi di sisi kanan. Menyiapkan makanan untuk gue.

"Ayo, makan." Ajak Laura setelah selesai menyiapkan makanan di piring gue dan miliknya.

"Lo juga." Balas gue saat ia duduk di sebelah gue.

"Maaf, pertemuan keluarga kita diundur." Ucap gue di sela-sela saat kami makan. 

"Ga apa-apa. Yang penting keadaan oma sehat. Lagian kita ga buru-buru juga."

"Orang tua lo tau kalau pertemuan besok ditunda?" Pasti orang tuanya kaget dengan pemberitahuan janji kami batal yang begitu mendadak. 

"Ya, gue sudah kasih kabar mereka. Mereka ngerti, kok."

"Secepatnya kita akan kasih kabar papi mami lo pertemuan selanjutnya." 

"Gimana kalau penyakit oma lo kambuh lagi kalau tau kita adakan pertemuan?" Tanya Laura khawatir. Gue belum beritahu Laura penyebab serangan jantung oma. Gue juga baru tahu beberapa menit sebelum pulang setelah mami memaksa penyebab penyakit oma kambuh ke opa. 

"Ga akan. Penyakit oma kambuh bukan karena marah tapi karena oma ga sengaja baca laporan mengenai Paris di ruang kerja opa." 

Oma yang baru pulang dari rumah sakit mencari opa sampai ke ruang kerjanya. Ia membaca dokumen penyelidikan mengenai Paris saat Paris sekolah di luar negeri. Jantungnya ga kuat menerima kenyataan. Beruntung waktu kejadian opa masuk ke ruang kerja bersama orang kepercayaannya sehingga oma cepat dilarikan ke rumah sakit. 

"Mengenai Paris?"

"Oma kira Paris gadis yang polos ternyata malah berhubungan dengan banyak cowok. Bahkan ia pernah aborsi beberapa kali."

Laura hanya terdiam sesaat mendengar tentang Paris yang sebenarnya. "Oma lo pasti sangat terpukul."

"Iya. Oma menganggapnya seperti cucu sendiri. Ia memanjakan Paris karena ga punya cucu perempuan. Berharap Paris benaran jadi bagian keluarga. Ternyata malah ga sesuai harapannya."

"Anggap aja itu pelajaran bagi opa dan oma agar terbuka mata dan hati mereka. Opa dan oma terlalu banyak membantu keluarga orang lain. Mereka tutup mata kalau orang-orang itu berniat menghancurkan keluarga putri mereka sendiri."

"Mereka malah mendukung walaupun mereka tahu karena mereka mau bisnis kami hancur dan meminta belas kasihan ke mereka."

"Apa lo benci opa dan oma?"

"Ga, gue ga benci mereka. Gimana pun mereka orang tua mami. Opa oma gue"

"Baguslah kalau gitu."

"Tapi gue masih marah dengan yang dilakuin opa dan oma ke lo dan keluarga lo." Gue malu ke Laura karena gue selalu menyebabkan masalah untuknya dan keluarganya. 

"Opa dalang bisnis papi lo dibatalkan sepihak oleh kliennya. Lalu berita gosip itu juga ulah opa."

"Selain itu, oma malah bekerja sama dengan Paris supaya lo dituduh mata-mata Perusahaan Daviat milik Arden."

"Gue udah lupain, kok. Lagipula papi dan mami lo bantuin gue membereskan semuanya."

"Maaf, Laura. Gue merasa ga berguna. Gue ga ngelakuin apapun untuk membela lo."

"Lo sudah membantu gue. Dengan gue sebagai pacar lo, ga ada yang berani mengganggu gue kecuali Paris. Karena lo juga keluarga lo membantu bisnis keluarga gue."

"Tetap aja... Gue janji, gue akan menyelesaikan semua tanpa bantuan orang tua gue."

"Iya, Pak Tory. Sekarang lo lebih baik fokus penyembuhan luka di kaki lo. Setiap kali gue melihat lo masih di kursi roda, rasa bersalah gue ga pernah bisa hilang."

"Karena itu, kalau lo mau meringankan rasa bersalah gue, tolong cepat sembuh."

"Baik, nona Laura." Gue meraih tangan Laura dan mencium punggung tangannya. 

"Yuk, makan lagi. setelah ini lo minum obat."

"Siap, nona!" Balas gue seperti tentara melaksanakan perintah Jenderal. Kami melanjutkan makanan sampai selesai. Lalu meminum obat yang diresepkan oleh dokter untuk menyembuhkan luka di kaki gue. 

"Tuan, nona" Panggil seorang asisten rumah tangga menghampiri kami. "Ada nona Paris di depan."

Mau apa dia ke sini? "Bilang ke Paris, aku ga mau ketemu dengannya."

"Tunggu" Tahan Laura menghentikan langkah ART.  "Gue mau tau tujuan dia kemari."

"Oke, demi lo." Gue menyetujui permintaan Laura. 

Kami menemui Paris yang duduk di ruang tamu. Tentu dengan bodyguard papi yang gue panggil untuk berjaga-jaga. 

Penampilan Paris terlihat kacau. Matanya sembab habis menangis. Bukannya kasian, gue malah skeptis ia benaran nangis untuk menarik simpatik. 

"Ka Tory, tolongin Paris!" Paris berdiri begitu melihat gue. Bodyguard yang tadinya berdiri di belakang gue dan Laura langsung memasang badan. Menahan Paris sebelum mendekati gue.

"Mau apa kamu kemari?" Tanya gue yang ga mau berbasa basi.

"Cuma kakak yang bisa tolongin aku. Aku tahu aku salah. Aku nyesal kak sudah ikut rencana oma dan Arden buat curi ide proposal project kakak."

"Cuma itu?" Ia benaran ga tau kesalahannya? Bahkan saat meminta tolong pun ia menjual oma demi menyelamatkan dirinya. 

"I,itu.. Aku juga salah sudah mendorong Laura dan meminta supaya media tutup mulut dengan bantuan oma."

"Kamu tahu kenapa oma kena serangan jantung?" Tanya gue langsung ke intinya. 

Paris hanya terdiam lalu menggeleng kepalanya. "Opa cari tahu kelakuan kamu di luar negeri."

Wajah Paris pucat pasi. Sorot matanya panik dan ketakutan. "Itu semua ga benar!"

"Paris, lo kenal Sean?" 

Mendengar nama Sean, Paris terdiam beberapa detik. "Aku ga kenal."

"Kamu ga kenal dia? Tapi dia kenal kamu karena dia satu kampus denganmu."

"Ia cerita bagaimana kelakuan kamu selama di luar negeri. Bahkan teman-temannya membocorkan semuanya ke Sean."

"Ia bohong! Aku ga tau kenapa ia bohong buat hancurin nama baik aku di depan kakak. Tapi semua itu ga benar!"

"Ga benar? Lalu bagaimana dengan rekaman medis aborsimu dan hubungan kamu dengan Arden?"

Paris ga bisa berkata apapun. Rona wajahnya semakin pucat pasi. 

"Aku mendapat laporan dan tentu aja opa yang memiliki kekuasaan dari aku juga mendapatkannya."

Paris tersentak kaget. "Opa tahu?"

"Ya, dan karena itu oma yang ga sengaja membaca laporan penyelidikan mengenai kamu mendapat serangan jantung."

Tubuh Paris bergetar ketakutan. "Kak, aku mohon tolong aku. Opa ga akan biarkan aku begitu aja."

"Aku ga bisa bantu kamu. Lebih baik kamu minta tolong dengan oma. Siapa tau kalau kamu membujuk oma untuk memaafkan kamu, opa ga akan meluapkan amarahnya ke kamu."

Walaupun gue ga suka Paris, tetapi itu solusi yang tepat untuknya. Sekaligus gue mau tau apa yang oma lakuin setelah ia tahu Paris yang sebenarnya. Apa ia masih bersikeras membuat Paris jadi istri gue atau sebaliknya. 

Paris membalikan tubuhnya dan pergi begitu aja setelah gue memberinya saran. Ia bahkan ga mengucapkan terima kasih. 

Tapi apa peduli gue. Lebih cepat dia menyingkir lebih baik. 

"Kenapa lo kasih saran seperti itu ke Paris?" Tanya Laura yang hanya jadi penonton dari tadi.

"Gue mau tahu oma akan memaafkan Paris atau engga. Kalau oma memaafkan dan masih bersikeras Paris jadi cucunya, maka mami akan ga peduli dengan opa dan oma lagi."

"Mami sudah kecewa dengan opa dan oma. Kalau oma semakin membuat mami kecewa, mami ga akan membujuk papi untuk selalu mengalah dengan orang tuanya. Mami akan membiarkan papi untuk melakukannya yang seharusnya dari dulu papi lakuin agar opa dan oma ga seenaknya dengan kami."

"Lo sadis." 

"Hm, tapi gue akan sangat baik ke lo."

"Oh ya?"

"Ya. Gue ga kan berhentiuntuk terus buktikan ucapan gue ke lo." Tentu aja gue akan menepati janji gue. 

******

1 Minggu Kemudian

Setelah semua masalah dan kesehatan oma membaik, akhirnya pertemuan keluarga gue dan keluarga Laura dilaksanakan di restoran milik mami. Kami memilih ruangan privasi dengan meja bundar agar lebih akrab. 

"Kehadiran kami bertemu dengan nak Darwin dan nak Arlin ingin meminta izin melamar Laura menjadi istri cucu saya, Tory."  Kakek membuka percakapan sebagai yang paling tua untuk menyatakan tujuan pertemuan.

Papi Laura hanya diam. Hanya mami Laura yang tersenyum sambil  menyenggol lengan suaminya. 

"Melamar? Kami kira hanya makan malam biasa." Ucap papi Laura yang dibalas tatapan kesal istrinya.

Orang tua Laura ga tau? Gue pikir mami sudah beritahu.

"Maaf kalau kami tidak memberitahu maksud pertemuan hari ini." Ucap mami sambil tersenyum. "Kami ingin membicarakan langsung dengan Pak Darwin dan Arlin. Kami ingin Laura bertunangan dengan Tory. Kami sangat ingin Laura jadi bagian keluarga kami."

"Ini mendadak sekali." 

"Tenang, Pak. Kita akan membicarakan lebih dahulu malam ini. Kita ingin meminta izin dan restu Pak Darwin dan Arlin lebih dahulu. Kalau Bapak dan Arlin terima, kita bahas acara tunangannya. Apa saja yang harus kami penuhi dari Pak Darwin, Arlin dan keluarga saat acara nanti."

"Kalau kami menyerahkan keputusan untuk menerima lamaran ke Laura. Yang pasti sebagai orang tua kami mendukung keinginan anak kami." Mami Laura memegang tangan Laura yang tersenyum lebar.

"Bagaimana Laura? Apa Laura terima lamaran Tory?" Tanya papi bikin gue salah tingkah walaupun gue tahu jawaban Laura.

"Iya, Laura terima lamaran Tory." Jawab Laura yang bikin gue ga bisa menyembunyikan rasa bahagia. Rasanya ingin langsung memeluknya. 

Keluarga gue yang mendengar jawaban Laura pun senang. Suasana yang tadinya canggung jadi semakin akrab.

"Untuk acara pesta pertunangan kami minta Laura, nak Darwin dan nak Arlin bersabar."

"Karena Tory walaupun luka dikakinya sudah kering dan membaik tetapi ia masih memakai kursi roda sampai minggu depan. Sekarang juga tanggal mendekati akhir bulan, bagaimana kalau acara pesta pertunangan diadakan 2 minggu lagi tepat awal bulan?" Ucap Kakek terdengar sangat tenang tapi membujuk bikin orang ga bisa menolaknya.

"Tidak masalah. Kami juga punya cukup waktu mempersiapkan acara."

"Kalau boleh, saya juga ingin ikut bantu. Saya kenal beberapa vendor siapa tahu ada yang cocok dengan pendapat Arlin dan Laura."

"Boleh, malah terbantu sekali." 

"Sebagai tanda lamaran Tory diterima oleh Laura, dari keluarga saya ingin Laura menerima gelang dari kami." Mami mengeluarkan kotak perhiasan. Berdiri dan berjalan mendekati Laura.

Laura berdiri menyambut mami. Mami membuka kotak dan mengambil isi. Meletakan kotak di atas meja dan memasangkan gelang berhiaskan berlian.

"Mulai sekarang panggilnya bukan tante tapi mami ya" Ucap mami setelah memasangkan gelang di tangan Laura.

"Makasih, mami." Laura dan mami berpelukan. Mami kembali ke tempat duduknya. Tersenyum puas dengan gelang yang ia pilih cocok di tangan Laura.

"Kamu juga mulai sekarang panggil saya, papi. Kamu sudah jadi bagian keluarga kami." 

"Makasih Papi, Makasih Kakek." Papi dan kakek tersenyum lebar mendengar panggilan dari Laura. 

"Terima kasih sudah menganggap Laura bagian keluarga kalian. Kami merasa tenang Laura diterima dengan baik."

"Nak Darwin, kita sudah jadi keluarga. Tidak perlu berterima kasih. Laura akan selalu menjadi keluarga kami begitu pun keluarga nak Darwin." 

"Sekarang lebih baik kita bicarakan persiapan acara tunangan nanti." Mami sukses mencairkan suasana.  Bahkan mami dan mami Laura bersemangat membicarakan persiapan untuk acara nanti. Sedangkan Kakek, papi dan papi Laura ngobrol ringan hingga berbicara mengenai pekerjaan.

"Gimana perasaan lo?" Bisik gue saat keluarga kami asik mengobrol. 

"Senang. lo?"

"Sangat senang." Perasaan yang ga bisa gue gambarkan dengan kata-kata. Gue ga pernah sesenang ini sebelumnya. Gue dulu berpikir diterima lamaran perasaan akan biasa-biasa aja. Ternyata engga. Walaupun tahu, rasa gembira begitu meluap yang ga bisa diungkapkan melalui kata saja.

"Kalau mereka mengurus acara kita, gue mau kita mengurus rumah idaman lo nanti."

"Lo mau bangun rumah buat kita?"

"Kenapa?"

"Gue pikir, kita bakal tinggal di rumah papi mami lo."

"Engga. papi dan mami setuju gue bangun rumah. Mereka ada sediain tanah di sebelah rumah mereka. Kalau lo ga mau tinggal dekat mereka, kita bisa pilih lokasi lain."

"Oke, untuk lokasi kita bicarain nanti."

"Baik, nona. Semua keputusan untuk rumah kita gue serahkan ke nona saja. Gue akan setuju semuanya asalkan lo merasa nyaman disana nanti."

"Makasih, Tory."

"Gue harusnya berterima kasih ke lo. Gue ga pernah membayangkan kalau gue akhirnya akan menikah karena sayang. Gue selalu berpikir kalau gue menikah cuma formalitas tanpa perasaan."

"Bukan cuma itu. Setelah sekian lama, perasaan lo ke gue ga pernah berhenti. Itu yang bikin gue lega. Gue janji gue akan membalas perasaan lo seumur hidup gue." Gue menggenggam erat tangannya sebagai ganti ga bisa memeluk dan menciumnya dihadapan keluarga kami. 

"Oke," Laura mengangguk dan menunduk. Terasa air matanya jatuh menetes punggung tangan gue.

"Kenapa lo nangis?" Tangisan Laura bikin gue khawatir. Gue mengusap air matanya.

"Ga, bukan sedih. Tapi gue senang. Gue ga nyangka perasaan gue sekian lama terbalaskan." 

"Tory, Jaga Laura baik-baik. Sayang dia sepenuh hati kamu." Ucap mami yang ternyata memperhatikan kami. Bukan cuma mami, tetapi semua keluarga yang hadir memperhatikan kami. Gue ga sadar kalau kami jadi pusat perhatian.

"Aku janji dihadapan Kakek, papi, mami, om dan tante kalau aku akan menjaga Laura. Sayang ke Laura dan setia padanya. Aku harap semua yang ada disini menjadi saksi keseriusan dan janjiku."

"Saya ingat itu!" Balas papi Laura dengan tegas. Gue sudah mengambil anak perempuan satu-satunya. Gue memahami kekhawatirannya kalau gue ga membahagiakan Laura.

"Om, tante tenang saja. Saya akan bahagiakan Laura. Sama seperti papi saya bahagiakan mami." Raut wajah papi Laura tetap ga berubah. "Seperti om membahagiakan tante Arlin."

Setelah mendengar ucapan gue, raut wajah papi Laura berubah. Ia tersenyum puas mendengar ucapan gue.

Ujian gue mengambil hati papi Laura akhirnya lulus. Gue berharap ga ada lagi ujian-ujian dari keluarga gue dan Laura yang ingin memisahkan kami. Yang gue mau kami bisa menikah dan hidup harmonis dalam restu seluruh keluarga yang kami sayangi.

******

Previous       Index        Next

Komentar

Postingan populer dari blog ini

NEMESIS

RyuKuni Game Chapter 2

Ryukuni Game Chapter 1