Suara ketukan palu menghentikan keributan orang-orang yang hadir. Para petugas menahan para pria dan wanita yang ingin mencelakaiku. Aku tidak takut. Jika mereka berani menyentuhku, akan kutuntut mereka!
"Semua tenang!" perintah hakim dengan nada tegas menghentikan keributan meski hanya sesaat.
"Dia sudah membunuh puteriku!" teriak pria yang masih ditahan oleh petugas tanpa memperdulikan hakim didepan.
"Akan kubunuh dia yang sudah membunuh puteraku!" teriak wanita yang menjerit penuh amarah.
"Lepaskan! Akan kubalas dia! Aku akan membunuhnya!" teriak wanita berbaju merah menggapai tangannya disela kedua petugas ingin mencengkram rambutku.
Aku menoleh ke belakang menatap mereka dengan sinis. Menatap papa dan papa tiriku yang ditahan petugas agar tidak menyerang orang-orang itu. Menatap mama dan keluargaku yang mengeluarkan kata-kata kasar beradu mulut dengan mereka.
Suara ketukan palu bahkan tidak membuat mereka diam malah semakin menjadi. Para petugas kewalahan menahan mereka semua.
Pemandangan yang menyenangkan. Menyenangkan karena orang tuaku, keluargaku masih mendukungku yang bercap seorang pembunuh. Mereka menjadi perisaiku meski mereka tidak bisa menghentikan hukuman yang akan ku jalani.
Tubuhku sengaja kucondongkan kedepan ke arah mic. "Pembunuh?" aku mengulang teriakan yang ada dibelakangku. Menghentikan mereka yang berbalik menatapku penuh kebencian.
"Anak kalianlah yang membunuh adikku! Anak kalianlah yang terus menerus membully dan menyiksa adikku!" aku berteriak penuh amarah.
Aku berdiri mengambil mic dan menatap mereka. Memandang wajah orang tua yang membunuh adikku. Memandang para pembunuh yang tertunduk ketakutan menatapku.
"Kamu ingin tau apa yang anak kalian lakukan pada adikku? Anak yang kalian banggakan?!"
"Tapi bukan berarti kamu membunuhnya!" wanita berbaju hitam menatap seakan ingin membunuhku.
"Itu pertanyaanku. Dulu. Kenapa adikku harus dibunuh?" aku menatap sinis ke wanita itu.
"Aku sudah ingin memaafkan mereka. Aku ingin menyerahkan bukti mereka yang mengakui jika mereka membunuh adikku. Aku ingin mereka mendekam dipenjara"
"Tetapi kata-kata yang mereka ucapkan membuatku marah. Membuatku melihat mereka bukan manusia. Mereka lebih rendah dari binatang!" teriakku menatap para pembunuh yang duduk disana.
Kembali suara ribut tidak terima dengan yang kuucapkan memenuhi ruangan. Jeritan penolakan jika anaknya bukan seperti yang kuucapkan. Teriakan amarah yang membela dan menyalahkan orangtua yang membunuh adikku.
Dengan penuh amarah aku mengambil rekaman yang ada diatas meja pengacaraku. Dengan cepat sebelum ia mengambilnya, aku memutar percakapan itu dengan mic sebagai pengerasnya. Percakapan yang membuat semua orang terdiam.
Percakapan yang siapapun akan terbakar hati nuraninya. Percakapan yang mengingatkanku lima bulan yang lalu. Saat semua bermulai.
*******
Komentar
Posting Komentar