Langsung ke konten utama

The Victim - Part 8

"Bagaimana keadaan orang tua ku? Apa mereka baik-baik saja?" Tanyaku pada mata-mata pembunuh Sindy.

"Mereka selamat kalau kamu terus mengikuti perintahku."

"Aku sudah mengikuti perintahmu. Aku mohon setidaknya aku ingin mendengar suara mereka."

"Nanti. Bukan hanya mendengar aku akan mengantarkanmu menemui mereka"

"Asalkan kamu patuh pada perintahku. Jangan pernah sekalipun kamu mengatakan ataupun bertindak mencurigakan saat melihat tamu di pesta"

"Aku akan melakukannya"

Pria itu mendorongku kasar untuk berjalan lebih cepat menuju bangunan terpisah dari rumah. Ia membuka pintu yang didalamnya banyak pengawal berjas hitam mengamati monitor.

"Silahkan duduk." Salah seorang dari mereka memintaku duduk di kursi yang menghadap monitor.

Aku berpura-pura mengamati satu per satu wajah tamu yang hadir. Sampai wanita itu hadir di pesta, dengan cepat aku mengalihkan pandangan.

Memang egois di saat aku sudah tahu pembunuhnya. Aku yang tadinya menggebu ingin mengungkap ke semua orang agar siksaan berhenti dan nama ku kembali baik, mengurungkan niatku memberitahu keluarga Permana. Ke keluarga yang ditinggalkan oleh orang yang mereka cintai.

Meskipun demikian, dipikiranku Bapak dan Ibu harus selamat. Lagipula pengawal itu berjanji akan mengantarkanku bertemu Bapak dan Ibu setelah semua selesai. Berkumpul bersama mereka.

"Apa tidak ada?" Tanya salah seorang pengawal yang duduk di sebelahku.

"Sejauh ini tidak ada."

"Kita tunggu sampai tamu terakhir datang." Ucap pengawal yang jadi kaki tangan wanita jahat itu.

Kami terus mengamati orang-orang sampai pesta berakhir. tetapi aku selalu mengatakan tidak ada pembunuh Sindy. Aku juga tidak ingin menunjuk orang lain dan membuatnya bernasib sama sepertiku. 

"Apa tidak ada sama sekali?"

"Tidak ada." Aku tahu mereka sangat kesal denganku. Setelah semua usaha yang dilakukan keluarga Permana untuk mengungkapkan pembunuh Sindy. 

"Jeff, Berapa tamu yang tidak hadir?" tanya salah seorang pengawal yang dari tadi duduk, berdiri di belakangku. 

"Ada 5 tamu yang tidak hadir." Jawab pengawal kaki tangan pembunuh yang baru ketahui namanya. 

"Mungkin salah satu dari mereka." Lanjut pengawal yang duduk di sebelahku. 

"Kita harus laporkan ke tuan Gideon dan tuan Justin." Ucap pengawal berjalan keluar ruangan. 

Aku melirik ke pengawalyang bernama Jeff. Ia terlihat yang puas dengan tindakanku.

"Ikut kami." Pengawal yang duduk di sebelahku berdiri lebih dahulu. Aku mengikutinya dari belakang dengan Jeff yang terus seperti bayanganku.


*******


"Singkirkan dia!" Teriak suara wanita yang aku kenal nyonya Vivian, istri tuan Gideon Permana. teriakannya sampai terdengar keluar. "Setiap kali melihatnya, aku tidak bisa mengendalikan amarahku!"

"Tidak bisa. Ia kunci kita menemukan pembunuh putri kita."

"Sampai kapan? Ia tidak memberitahu kita siapa pembunuhnya meskipun kita sudah memperlihatkan foto dan mengundang teman-teman Sindy!"

"Tunggulah beberapa hari lagi."

"Tunggu?! Sudah jelas ia kaki tangan pembunuh itu?! Atau mungkin itu hanya kebohongannya agar kita percaya ia tidak bersalah"

Mendengar teriakan nyonya Vivian membuatku takut masuk ke dalam. Yang dikatakan nyonya Vivian memang benar. Sekarang aku merasa seperti kaki tangan wanita pembunuh itu. Merasa sangat bersalah berpura-pura belum menemukan pelakunya.

Tidak. Ini demi bapak dan ibu. Tapi.. Mungkin saja jika aku cerita langsung pada keluarga Permana, mereka akan menolongku menyelamatkan Bapak dan Ibu. .

Hanya saja aku tidak tahu bagaimana cara aku memberitahu keluarga Permana tanpa sepengetahuan pengawal ini? Aku melirik Jeff yang kini berdiri di sebelahku.

Setelah teriakan reda, seorang pengawal yang berdiri di samping pintu membukakan pintu bagiku. Dengan perasaan gugup lebih parah dari sebelumnya aku masuk ke dalam.

"Duduk." Perintah tuan Gideon. Aku mengambil tempat di ujung sofa dengan kepala menunduk. Tidak berani menatap orang-orang yang ada di ruangan.

Seorang pengawal di dalam ruangan menyusun 5 foto di atas meja hadapanku.

"Tidak ada." Ucapku tanpa benar-benar menatap foto itu pun, tidak ada pelaku pembunuh Sindy.

"Benar yang ku katakan! Ia berbohong pada kita!" Teriak nyonya Vivian membuatku mendongkak menatapnya. Terkejut dengan sosok yang duduk di sebelah nyonya Vivian.

Dia! Wanita yang membunuh Sindy duduk di samping nyonya Vivian! Apa ia anggota keluarga Permana?

"Tante, tenang ya." Ucap wanita itu seakan ia orang yang sangat baik. Mengerikan! Bahkan ia bisa berpura-pura tidak bersalah di hadapan semua keluarga Sindy.

"Wanita ini jahat! Ia pembunuh anak tante!" Nyonya Vivian maju ingin menyerangku jika tidak ditahan oleh Justin.

"Mama, tenang."

"Gimana aku bisa tenang?! Jelas ia juga pembunuhnya! Ia tangan kanan pembunuh itu!"

Aku ingin berteriak jika wanita yang duduk disampingnya lah pelakunya! Ia yang membunuh Sindy! Jika tidak mengingat keselamatan ayah dan ibu... Tahan.. Aku harus menahan diriku.

Biarlah aku dicaci maki asalkan ayah dan ibu selamat dari orang yang berbahaya seperti wanita itu.

"Meski ia tangan kanan, tetap saja kita harus tau siapa yang membunuh Sindy."

"Jika dia tidak menemukan pembunuh itu, aku akan menghabisinya!" Ancam nyonya Vivian membuatku bergidik ketakutan.

"Ini kesempatanmu yang terakhir" Ucapan tuan Gideon semakin membuatku takut.

"Besok akan diadakan acara mengenang Sindy. Perhatikan baik-baik wajah orang yang hadir"

"Baik, Pak" Aku tahu sekarang hanya kesempatan terakhirku. Keluarga Permana tidak akan berdiam jika aku tidak memberitahu pembunuh itu. 

 Para pengawal membawaku keluar dari ruangan itu di bawah tatapan tajam keluarga Permana.

"Kamu tahu yang harus kamu lakukan nanti." Bisik Jeff saat hanya tinggal kami berjalan menuju kamar tempatku diawasi. Pengawal yang lain kembali ke pos mereka masing-masing. 

"Ya." Jawabku meski perasaan khawatir jika aku membuat keluarga Permana murka padaku.

Apa yang harus ku lakukan? Tunggu, kata Tania Justin sama sepertinya. Ia pasti tahu jika aku memberi tanda padanya. Tapi apa mereka percaya jika aku menunjuk wanita itu pelakunya? Sedangkan wanita itu bisa dekat dengan keluarga Permana dibandingkan aku orang asing?

Apa salahnya mencobanya. Jika gagal... tidak, tidak boleh gagal. Ini harus berhasil!

Aku menatap kamera CCTV saat berjalan menuju ke kamar. Aku memberi tanda dengan melirik ke arah Jeff yang berjalan di sampingku. Setiap melewati kamera aku selalu melakukannya. Aku berharap jika ada yang sadar.

Jeff itu membuka pintu kamar “Jangan bertindak macam-macam jika kamu mau orang tuamu selamat!“ bisiknya saat aku melewatinya masuk ke dalam lalu menutup pintu.

"Tuan.“ ucap Jeff terdengar di balik pintu. "Ughh!!!" terdengar rintihan Jeff dipukuli. Rencanaku berhasil. Justin datang.

Pintu dibuka oleh pengawal Justin. Aku menatap Justin masuk ke dalam. Pengawal Justin langsung menutup pintu meninggalkan hanya kami berdua di dalam.

"Orang tuaku ditahan oleh mereka." 

"Orang tuamu?" Justin terdiam lama. “Mereka sudah meninggal 4 tahun yang lalu“

Tidak mungkin! "Kata pengawal itu..." mereka sudah meninggal? kakiku lemah hingga aku jatuh terduduk di atas lantai. Ini bohong kan?

Air mataku mengalir deras. "Kenapa mereka meninggal?"

Justin menunduk berhadapan denganku. “4 tahun lalu setelah rumahmu kebakaran mereka kabur tapi besok harinya ditemukan jasad mereka di pinggir jalan di luar kota."

"Mereka dibunuh?" tanyaku bagaimana bisa mereka ditemukan meninggal di pinggir jalan selain dibunuh. 

"Ya, menurut kepolisian mereka dirampok. Tidak ada saksi sehingga kasus mereka ditutup."

"Kenapa tidak ada yang memberitahuku?“ 

"Tidak ada yang memberitahumu? Kami pikir kamu sudah tahu karena mereka meninggal saat kamu menjalani pengadilan."

"Tidak, aku tidak tahu. Saat itu aku disuntik obat agar menuruti semua penjahat itu mau" 

"Kamu diberi obat agar menuruti mereka?" Justin terlihat sangat terkejut mendengar pengakuanku. "Aku akan mencari tahu kasus orang tuamu"

"Tunggu." Tahanku refleks memegang lengan Justin. Aku ingat foto yang diberikan Jeff padaku.  

"Mereka tidak dirampok" Ucapku sambil mengeluarkan foto yang ku simpan di kantong celanaku. yang selalu ku bawa setelah Jeff memberikannya padaku.

"Tidak dirampok?"

"Ini foto milik ayahku. Ia selalu menyimpannya di dompet dan tidak pernah dikeluarkan sekalipun. Jeff memberikannya untukku agar aku yakin mereka menahan orang tuaku." 

"Aku akan mengurus semuanya." Janji Justin yang sangat ku yakini akan ia pegang. "Maafkan kami. Terutama luka bakar di tubuhmu."

Ia melihatnya? Lalu kenapa? "Bukannya kalian yang memerintahkan untuk memberikan luka ini padaku?"

"Memberi luka... Tidak. Kami memang menyuruh orang untuk menyakiti dan menghentikanmu bunuh diri tetapi kami tidak pernah menyuruh orang sampai membuat luka bakar di punggungmu." Bukan keluarga Permana?

"Lalu kenapa Bos Gita terus menyiksaku?"

"Gita? Siapa Gita? Kami menyuruh tahanan bernama Susan? Ya, nama tahanan itu Susan." 

Jadi, siapa yang menyuruh Bos Gita melakukannya? Ia mengatakan jika itu semua diperintahkan leh keluarga Permana. Wanita itu.. Ia juga keluarga Permana. 

"Lalu, Apa kalian yang membakar rumahku?"

"Tidak. Kami tidak akan melakukannya. Kami lebih memilih keluargamu hidup dihakimi secara sosial."

Aku mengerti sekarang. Bapak Ibu, maafkan Giska. Karena aku kalian meregang nyawa. Tetapi tenang saja. Aku akan membalas kematian kalian. 

"Kamu harus memberitaku siapa wanita yang membunuh Sindy. Sudah banyak korban olehnya termasuk orang tuamu."

"Wanita itu yang duduk di samping nyonya Vivian" Jawabku meneliti reaksi Justin. 

Ia jelas terkejut mendengar jawabanku. “Apa kamu yakin?"

Ia tidak akan mempercayaiku. Mereka semua tidak akan percaya. Hanya aku yang bisa memberikan keadilan untuk diriku sendiri. Seperti yang dilakukan Mikela dan Tania. Hanya kami sendiri yang bisa menghukum orang yang merenggut orang yang kami cintai dan hanya kami yang membela kami sendiri. 

"Tidak. Aku tidak yakin. Apa boleh aku melihatnya lagi?" Tanyaku sambil menghapus sisa air mataku. 

"Baiklah" Justin membantuku berdiri dan membawaku ke ruangan tempat tadi berkumpul. 

"Tuan Gideon ada yang ingin aku sampaikan." Ucapku pada tuan Gideon yang duduk di seberang nyonya Vivian begitu aku masuk ke dalam.

"Aku minta maaf karena sudah berbohong. Wanita yang membunuh Sindy wanita ini." Aku menunjuk wanita yang duduk di samping nyonya Vivian.

"Apa maksudmu?! Kamu menuduh Cecil pelakunya!" Bentak nyonya Vivian tidak percay yang aku katakan.

"Aku membunuh Sindy? Aku tidak mungkin melakukannya. Sindy sepupuku!" Sambung wanita yang ternyata bernama Cecil mengelak sambil menahan marah. Berakting seakan ia dituduh palsu olehku. 

"Ia sepupumu?" Tanyaku tidak percaya yang aku dengar. "Kamu berasal dari keluarga Permana?"

"Bukan. Ia bukan dari keluarga Permana. Ia dari keluarga ibuku" Jawab Justin berdiri di belakang tuan Gideon. 

"Justin? Ini tidak mungkin! Cecil tidak mungkin pelakunya!" Nyonya Vivian tetap tidak percaya pada kami. 

"Apa karena ini kamu dengan tenang menemuiku karena kamu tahu tidak ada seorangpun yang percaya kamu pelakunya?" 

"Kamu bahkan dengan bebas menggunakan nama keluarga Permana untuk menyakitiku dan membunuh keluargaku?"

"Kenapa kamu membunuh orang tuaku? Mereka tidak tahu apa-apa!"

"Apa yang kamu bicarakan?" tanyanya berpura-pura ketakutan padaku yang berteriak padanya seakan ia orang yang sangat lemah. 

"Jangan mengatakan kebohongan!" Teriak wanita yang duduk di sebelah Cecil. Wajahnya mirip dengan Cecil. "Anakku sayang dengan Sindy. Beraninya kamu mengatakan kebohongan hanya untuk menyelamatkan dirimu sendiri!"

"Apa ia memiliki saudari kembar?" Tanyaku pada Justin tidak peduli akan amarah mereka yang ingin menyakitiku. 

"Tidak." 

"Bagaimana dengan saudari yang mirip dengannya?"

"Apa-apaan pertanyaannya itu! Bawa ia keluar! Kamu harus memberinya pelajaran, Vivian"

"Ia tidak memiliki saudara perempuan." Jawab Justin tidak peduli dengan ucapan Ibu Cecil dan kemarahan ibunya. 

"Herry." Panggil tuan Gideon memanggil orang kepercayaannya. "Cari tahu apa yang semua Giska katakan benar atau tidak."

"Gideon!" 

"Ka, kamu percaya dengan pembunuh ini ucapkan?!"

"Ma, tante, biarkan pak Herry cari tahu. Jika yang dikatakan Giska bohong, kita bisa menghukumnya. Tetapi jika yang dikatakannya benar, perbuatan mama hanya membuat pembunuh Sindy bebas" Kali ini saudari perempuan Justin, Gwen memberi pendapat. Ia bahkan terlihat marah pada Cecil dan Ibunya. 

Tiba-tiba Cecil tertawa keras. "Tidak perlu." Ucap Cecil meski dihentikan oleh Ibunya.

"Ma, aku muak selalu menutupi semuanya."

“Cecil.. kamu!' Nyonya Vivian terkejut dengan Cecil yang akhirnya mengakui kalau ia memang pelakunya. 

"Aku ingin semua orang tahu jika aku membunuh Sindy. Aku ingin semua orang tahu jika Sindy pantas untuk dibunuh!"

Keluarga Permana geram akan ucapan Cecil. Aku melihat Justin mengepalkan tangannya ingin membunuh Cecil. 

"Tidak mungkin hanya karena laki-laki, kan?"

"Kamu benar. Aku benci karena ia memiliki segalanya! Semua orang mencintainya!"

"Kenapa orang tuaku juga dibunuh?"

"Kenapa? Kamu tanyakan itu pada ibuku." 

"Ia menyuruh orang untuk menyiksamu sampai hampir mati dan membunuh orang tuamu" 

"Cecil, diam!" 

Ternyata bukan hanya Cecil yang gila tetapi ibunya juga sama gilanya. Sama-sama seorang pembunuh! Ia juga yang memerintahkan Gita untuk menyiksaku. Sekarang aku tahu siapa orang yang paling bersalah atas neraka yang aku alami. 

"Kenapa mama malu mengakuinya. Mereka semua hanya semut kecil tidak berharga. Membunuh semut yang akan mengigit kita nantinya bukan suatu kejahatan."

"Cecil!!" Teriak nyonya Vivian menampar Cecil. "Kalian pembunuh gila! Beraninya kalian bunuh putriku! Aku selalu memberi yang kamu dan mamamu mau tapi ini balasan kalian?!" 

"Kubunuh kalian berdua!" 

"Ma!" Gwen dan tuan Gideon menarik nyonya Vivian yang menyerang Cecil dan ibunya. 

"Biar polisi yang membereskan mereka."

Semut? Pikiranku selalu memutar ucapan Cecil mengatakan jika orang yang ia bunuh hanya semut? Ia anggap orang tuaku semut? 

Hahaha... Sekarang aku tahu kenapa Tania bisa dengan kejam membunuh. Kenapa Mikela yang sangat baik bisa bertindak gila sesaat.

Aku berbalik berjalan ke arah meja kerja tuan Gideon di saat suasana gaduh. Mengambil gunting yang ada di meja kerja. Dengan tenang berjalan ke arah belakang Cecil yang berlindung di belakang ibunya dari serangan nyonya Vivian dan Gwen. 

Melingkarkan tanganku di pundaknya dan men*suk lehernya dengan ujung gunting yang tajam. Otakku mengingat bagaimana Tania membunuh di ruang pengadilan. Sayangnya aku tidak akan men*suknya berkali-kali seperti yang dilakukan Tania. Aku ingin ia hidup. 

Semua terdiam menatap Cecil yang bersimbah darah. Tidak percaya dengan apa yang telah ku perbuat. 

"Giska!" Justin terlalu terkejut dengan yang aku lakukan. Ia ingin mendekatiku di saat Ibu Cecil mengamuk. 

"Cecil! Ku bunuh kamu!" Teriak Ibu Cecil menyerangku.

Sebelum tangan Ibu Cecil melukaiku, aku mengayunkan gunting ke arah ibu Cecil dan men*suk perutnya. Lalu menarik gunting yang menancap. 

"Agghhhh!" Jerit ibu Cecil memegang perutnya yang berd*rah. 

"Aku tidak akan membunuhmu" ucapku pada ibu Cecil yang bersimbah darah di lantai.

"Aku berharap kita berada di penjara yang sama. Aku akan membalas semua yang kalian perbuat padaku di penjara" Aku mengusap ujung gunting yang tajam di pipi ibu Cecil. 

"Ah, tenang saja. Aku akan membuat tato cantik di punggungmu" Janjiku pada Ibu Cecil yang mulai tidak sadarkan diri. 

Sampai bertemu di neraka yang ku ciptakan untuk kalian. 


*******


Previous           Index            Next          

Komentar

Postingan populer dari blog ini

NEMESIS

RyuKuni Game Chapter 2

Ryukuni Game Chapter 1