Langsung ke konten utama

The Victim - Part 3

 

"Aggghhhhh!!" jeritan kesakitanku begitu keras tetapi tidak ada sipir yang mendatangi sel kami. Semua menutup mata saat aku disiksa. aku hanya bisa menahan rasa sakit di punggungku akibat di tendang. 

"Apa kita perlu menambahnya?" tanya Bos Gita yang menjadi ketua di sel dimana aku ditempatkan. 

Dibandingkan dengan Bos Susan yang dulu menjadi bos di selku sebelum ia bebas, Bos Gita berkali lipat lebih kejam. Bos Susan hanya menyakitiku tetapi tidak separah Bos Gita. Setidaknya aku tidak tidur di toilet saat ada Bos Susan. 

"Sepertinya perlu." balas salah seorang anak buah Bos Susan yang berganti menjadi kaki tangan Bos Gita nya tertawa melihatku menderita. 

"Hehehe.. dia pembunuh yang sangat terkenal kan? Bagaimana kalau aku membuatnya tato?" ucap Bos Gita menakutiku. ia sungguh-sungguh akan melakukannya. "Tahan dia!" perintah Bos Gita pada kedua anak buahnya yang langsung menarik kedua tanganku. 

Aku berusaha memberontak. Melepaskan diri dari cengkraman mereka. Tetapi tenagaku kalah ditambah tubuhku masih merasakan sakit. Mereka menahanku. Bos Susan menyumpal mulutku dengan kain. Lalu menarik bajuku hingga menutupi kepalaku. Memperlihatkan punggungku yang telanjang penuh lebam.

Tidak! Aku tidak mau! "Hmphhhh!!!" jeritanku terendam oleh kain yang dipaksakan kedalam mulutku. Rasa panas membakar kulit punggungku yang telanjang.  Kedua tanganku dicengkram sangat kuat agar aku tidak memberontak. 

"Ini masih belum. Aku akan membuat tato huruf awal namamu" Ia kembali menyudutkan ujung rokoknya ke punggungku.

Aku berteriak hingga mengeluarkan air mata. S*dutan rokok kembali membakar kulitku. Menghujam ke seluruh punggungku. Meski aku memohon dengan suara tidak jelas saat mereka bergantian terus  menyiksaku.

Aku tahu percuma aku minta belas kasihan dari mereka. Aku sangat tahu tidak akan pernah ada rasa belas kasihan. Disini semuanya adalah iblis. Mereka semua menyakitiku. Menghajarku. Membuatku menderita seperti perintah keluarga Permana.

Berkali-kali aku berusaha bunuh diri, berkali-kali pula mereka menyelamatkanku. Menjalankan perintah keluarga Permana jika aku tidak boleh mati semudah itu. Aku harus hidup dibawah siksaan mereka.

"Sudah selesai. Baguskan?" Ucap Bos Gita terdengar begitu bangga setelah menyiksaku.

"Bagus." Balas kedua anak buah Bos Gita tertawa melihatku yang meringkuk kesakitan.

"Mana ucapan terima kasihmu?"

Salah seorang yang menahanku mengeluarkan kain dalam mulutku. "Terima kasih." Ucapku dengan suara bergetar.

"Bagus. Sekarang kita tidur." Perintahnya memerintahkan anak buahnya untuk melepaskanku dan tidur.

Hanya ini kesempatan aku bisa menghindar sebelum ia mengurungkan niatnya tidur. Memasang bajuku yang berserakan. Lalu merangkak menuju toilet ruang tahananku. Berdiri dengan menggampai dinding sebagai penahan tubuhku dan membuka pintu. Masuk ke dalam toilet yang sangat kotor.

Berapa kalipun aku membersihkannya mereka selalu sengaja buang air tanpa menyiramnya. Sengaja melakukannya di lantai. Aku harus membersihkannya sebelum bisa tidur di dalam. Menyiram dan menggosoknya hingga bersih. Hingga bau busuk tidak tercium. Menunggu lantai yang dingin mengering sebelum dapat tidur didalamnya.

Aku membuka bajuku. Tubuhku penuh dengan lebam, bekas luka yang mengerikan menggurat punggungku ditambah dengan luka bakar yang baru kudapatkan.

Mengerikan. Aku duduk meringkuk disudut. Sudah dua tahun aku diperlakukan seperti ini. Sampai kapan semua akan berakhir? Aku ingin segera bebas. Aku ingin bertemu Bapak dan Ibu. Ingin pulang, tidur di kamarku yang kecil tetapi nyaman. Tempatku merasa aman.

Dipikiranku seandainya waktu itu aku tidak bertemu dengan Pak Dimas. Seandainya waktu itu ku tidak terima penawarannya. Seandainya aku... Ah, penyesalan demi penyesalan tidak akan mengubah apapun. Tidak akan pernah. 


*****

 

Dua tahun kemudian

"Dihajar lagi?" Tanya Tania menatapku sebentar lalu kembali menatap lembaran kertas dari amplop coklat seperti biasanya.

Tania teman baruku di ruang selnya satu tahun ini setelah ia dipindahkan dari penjara biasa ke penjara ini. Tidak ada tahanan yang berani melawannya kecuali Mikela.

Sejak dua tahun yang lalu aku pindah ke satu sel dengan Mikaela yang tidak ada seorangpun yang mau satu sel dengannya. Ia seorang pembunuh yang sadis tetapi jika berinteraksi dengannya ia sangat ramah.

Lalu satu tahun setelah aku menjadi teman satu sel Mikela, Tania dan Lily melengkapi jumlah orang di sel kami. Awalnya aku takut pada Tania. Ia tidak dapat diduga tindakannya. Bahkan bisa menjadi agresif saat orang ingin menyerangnya. Seperti para tahanan yang dibayar oleh orang tua yang anaknya dibunuh oleh Tania. Mereka semua kalah dengan kondisi mengerikan. Sejak saat itu tidak ada yang berani dengannya.

Sedangkan Lily, ia pendiam dan tidak suka berkumpul dengan kami pada awalnya. Tapi seiring waktu, ia mau membuka diri pada kami. Dan yang paling mengejutkan dari Lily, ia tidak takut dengan Tania.

"Sampai kapan kamu takut melawan si pengecut itu?"

Aku hanya tersenyum tanpa membalas perkataan Tania. Aku duduk di ranjangku. Menahan rasa sakit di rusukku. Aku harap tulang rusukku tidak patah. Bos Gita tadi memukulku dengan keras. Ia tetap mengincarku meski berbeda ruangan.

"Coba aku lihat." Mikela mendekatiku.

"Tidak. Aku baik-baik saja." tolakku tidak ingin memperlihatkan tubuhku yang mengerikan. Sudah cukup sekali aku melihat ekspresi Mikela yang terkejut dan membuang muka tanpa sengaja melihat bekas luka-lukaku. Terutama luka bakar yang seperti titik membentuk huruf G besar di belakang punggungku.

"Tapi kamu jelas-jelas habis dipukul oleh mereka." Ucap Lily yang duduk sebelah Mikela.

"Tidak. Ini hanya luka ku yang kemaren terasa sakit lagi." Bohongku. Aku tidak ingin mereka kena masalah saat mereka membelaku.

"Sudahlah, kak. Kalau ia bilang baik-baik saja tidak perlu memaksanya." Balas Tania sambil menutup file yang diberikan sipir padanya.

"Baiklah. Kamu harus bilang kalau mereka memukulmu lagi."

"Iya." Jawabku yang berbohong padanya.

"Tahanan 2746." Panggil sipir penjara di luar. Aku berdiri mendekati pintu yang dibuka.

"Ada tamu untukmu."

Siapa? Selama ini tidak ada satupun yang mengunjungiku. Bahkan Bapak dan Ibu juga. Lalu siapa yang ingin menemuiku? Apa dari keluarga Permana? Menyebut namanya dalam pikiranku saja membuatku takut.

"Aku tidak ingin menemuinya."

"Kamu tidak bisa menolak." Penjaga membawaku keluar. Berjalan di depan dan belakangku agar aku tidak dapat menghindar.

Tanganku berkeringat, jantungku berdegup kencang. Dalam hati berdoa semoga saja bukan dari keluarga Permana. Sipir membuka salah satu ruangan berkunjung dan menyuruhku masuk ke dalam.

Seorang wanita cantik duduk di balik kaca. Aku tidak pernah melihatnya di sidang. Apa dia pengacara? Jurnalis? Aku duduk di hadapan wanita itu. Tetap waspada sebelum aku tahu identitasnya.

"Bagaimana kabarmu?" Tanya wanita itu sangat ramah.

"Baik."

"Kamu pasti bingung aku menemuimu." Ucapnya sambil tertawa. Bersikap seakan kami pernah bertemu sebelumnya. Tetapi aku tidak pernah melihatnya.

"Apa kamu pengacara? Atau jurnalis?" Tanyaku yang dibalas dengan tertawa keras.

"Bukan keduanya. Aku datang ingin mengucapkan terima kasih karena kamu telah menolongku."

"Terima kasih? Aku tidak pernah bertemu dengan kamu sebelumnya." aku benar-benar tidak pernah melihat wanita itu sebelumnya apalagi menolongnya.

"Ya. Kita memang tidak pernah bertemu." Ia mendekatkan wajahnya ke arahku. Mendekatkan kearah kaca yang membatasi kami.

"Aku, orang yang seharusnya didalam sana." Aku tidak dapat mendengar dengan jelas yang ia ucapkan karena suaranya seperti berbisik. Tetapi aku dapat membaca bibirnya.

Aku yakin. Ia mengatakan seharusnya ia yang berada di sini bukan aku. "Kamu!"  Dia pelakunya! Dia pembunuh Sindy yang sebenarnya!

"Hah.. sepertinya sudah saatnya aku pergi. Kita tidak akan pernah bertemu lagi, Giska." Ucapnya sambil berdiri dan berjalan keluar ruangan.

"Tunggu! Kamu pembunuhnya! Keluarkan aku dari sini! Ia yang membunuhnya!" Aku berteriak sekuat tenagaku. Tidak peduli dengan sipir menahanku.

Bukk!!! Pukulan keras mengenaiku kepalaku. Menghantamaku hingga tidak sadarkan diri.


*****

 

"Apa kamu masochist? Kamu mendapat luka baru." Ejek Tania saat aku masuk ke dalam sel ku.  Aku hanya menatapnya tanpa ekspresi dan berbaring di ranjangku.  Masuk ke dalam ruang hukuman selama seminggu membuat lelah secara mental.

 

"Hentikan!" Bela Mikela menghentikan candaan Tania. "Kamu tidak seharusnya mengatakan itu pada orang yang lebih tua terutama lagi sakit seperti sekarang. Dimana empati kamu?"

"Well, Kalian tahu empatiku sudah hilang." Tania berjalan membungkuk diatasku. "Luka ini tidak terlalu parah. Tenang saja. Kamu tidak akan gegar otak ataupun jadi bertambah bodoh"

"Tania."

"Apa? Aku hanya memberitahunya agar ia tenang tidak memikirkan cidera serius dikepalanya."

"Kamu tahu yang bisa membuat kamu mati? Luka hantaman yang sangat keras memecahkan..." Saat ia mengatakannya membuat bulu kudukku berdiri.

"Jangan bicara yang tidak-tidak!" kesal Lily menghentikan ucapan Tania sambil menutup kedua telinganya.

"Ah, maaf. Aku teringat yang dulu." Ia berdiri tegak dan berjalan ke ranjang Mikela dan duduk disana menatapku sambil tersenyum.

"Jangan membahas itu lagi." tegur Mikela pada Tania yang mengangkat bahunya. "Sebaiknya kamu istirahat memulihkan cideramu"

"Terima kasih." Aku tetap berbaring dengan Mikela duduk di samping ranjangku.

"Jadi, kenapa kamu dihajar oleh sipir dan masuk ke ruangan hukuman?" Tanya Tania tidak membiarkan aku tidur.

"Ia datang menemuiku." Jawabku mengingat pembunuh Sindy datang menemuiku.

"Siapa? Justin?" Tanya Tania terdengar bersemangat.

"Bukan. Bagaimana kamu mengenal Justin?" 

"Tentu saja semua orang mengenalnya. Bahkan Ka Mikela juga pasti pernah bertemu dengannya."

"Maksudku kamu benar-benar mengenalnya?"

"Ia anak rekan bisnis papaku. Kami hanya beberapa kali bertemu."

"Lalu Sindy?"

"Ah, anak itu. Ya, aku mengenalnya. Ia anak yang cantik dan pintar. Sayang sekali ia cepat pergi. Anak yang baik memang selalu cepat pergi meninggalkan dunia ini"

Tania pasti mengingat adiknya. Aku menonton berita di ruang rekreasi saat kasusnya sedang ramai diliput. Ia membunuh teman-teman sekolahnya yang telah membunuh adiknya. Yang paling mengerikan saat itu siaran langsung di pengadilan, ia imembunuh salah seorang pembunuh adiknya yang masih hidup sebagai saksi di pengadilan. Siapapun yang menyaksikan siaran itu bergidik. Tidak ada yang menduga apa yang ia lakukan. semua begitu cepat. Aku bahkan harus menutup mata saat ia melakukannya. Berita pembunuhan itu menjadi berita yang ramai dibicarakan selama berbulan-bulan.

Walaupun orang-orang itu pantas mendapatkannya karena mereka begitu keji membunuh, memperkosa dan menjadikan nyawa orang yang tidak bersalah menjadi bahan taruhan, tetapi melihat langsung pembunuhan yang dilakukan di depan mata sangat mengerikan. Karena itu Tania dijatuhi putusan hukuman mati.

Karena itu, Begitu ia dipenjara disini, semua orang takut padanya dengannya. Hanya Mikela yang berani melawannya tetapi itu pun karena Mikela juga ditakuti dan disegani oleh para tahanan disini. Ia juga dijatuhi hukuman mati karena telah membakar suami dan selingkuhan suaminya.

"Apa mereka sudah memberitahu kabar baik untukmu?" Tanya Mikela sambil tersenyum senang.

"Ya, mereka telah memberitahuku."

 Aku mendapatkan grasi. Setelah aku keluar dari ruang hukuman,  seorang sipir memberitahuku dan menyayangkan aku tidak mengikuti upacara dimana aku diumumkan bersama tahanan lain mendapatkan grasi . Aku bahkan tidak diberitahu sebelumnya. Aku tidak tahu kenapa aku bisa mendapatkannya. Ini sangat aneh. Siapa yang mengajukannya untukku?

"Kenapa kamu malah tidak bersemangat? Kamu harusnya senang"

Aku tersenyum kecil. Bukan itu yang aku takutkan. Semoga saja keluarga Permana tidak tahu jika aku bebas bulan depan. Semoga saja mereka tidak tahu.

"Itu bagus. Kamu akan bebas sebelum kami dieksekusi" lanjut Mikela membuatku ingat jika dua bulan lagi waktu eksekusi mereka ditentukan.

"Aku..." Ya, aku baru ingat jika mereka akan dieksekusi. Meskipun hukuman itu dirahasiakan tetap saja bocor dan menyebar di tahanan. 

"Tidak apa-apa. Kami memang pantas mendapatkannya."

"Ya, lagipula diluar sana sangat menyiksa. Hahaha... orang-orang tidak akan mau hidup bersama pembunuh yang keji. Siapa yang mau bersama dengan pembunuh yang membakar suami dan selingkuhannya. Siapa yang mau hidup dengan pembunuh yang menghabisi bajingan dengan mengerikan?" Balas Tania begitu tenang.

"Kematian menyelamatkan kami, tetapi hidup dengan cap yang sangat buruk itu neraka" Tania menatapku lekat. Aku tahu itu cap yang sangat mengerikan yang terus melekat di diriku setelah keluar dari sini.

"Jadi jika kamu ingin hidup tanpa ada orang-orang menjauhimu, kamu harus mencari keadilan. Kamu harus membuktikan jika kamu tidak bersalah."

"Kamu percaya jika bukan aku yang membunuh Sindy?" Aku bangun dari ranjangku menatap Tania dengan tatapan tidak percaya. Ia selalu mengejekku tetapi ia percaya jika aku bukan seorang pembunuh.

"Tentu saja. Cewek bodoh, polos seperti kamu tidak mungkin membunuhnya. Lagipula aku bukan orang yang bodoh setiap kali kamu mengatakan yang sebenarnya, sipir menyeretmu ke ruang hukuman. Menguncimu di sana sampai kamu tenang."

“Dan jika kamu memang pembunuhnya, sudah dari dulu aku membunuhmu.” Lanjut Tania membuatku bergidik ketakutan.

"Beritahu Justin. Ia memang sangat berbahaya tetapi ia akan mempercayaimu jika kamu memiliki bukti."

"Darimana kamu tahu?" Meski Tania bilang ia pernah bertemunya beberapa kali tetapi belum tentu mereka dekat.

"Ia sama sepertiku. Yang berbeda ia tidak segila diriku"

"Tahanan 2746, ada paket untukmu." Sipir tahanan menyodorkan amplop coklat dari celah sel. Mikela mengambil amplop itu dan menyerahkan padaku.

"Tidak ada pengirimnya" aku memegang amplop itu ada kotak kecil didalamnya. Aku membuka kotak itu dan melihat kotak kecil hitam. Membuka kotak itu yang berisi ballpoint.

"Apa ini?"

"Itu alat perekam. Tekan saja ujungnya" Aku menuruti kata-kata Tania. Menekan ujung ballpoint.

"Sampai bertemu lagi, Giska Putri" suara itu... itu suara Justin. Aku melempar ballpoint seakan bom yang sangat berbahaya. Ia tahu aku akan bebas!

“Kamu tidak apa-apa?” Mikela menenangkanku.

"Ah, sepertinya ia menunggumu" ucap Tania setelah mengambil bollpoint itu dan memutar ulang rekamannya.

"Siapa?" tanya Lily yang dari diam ikut penasaran.

"Justin Permana" ia melirik wajah ke arah Lily yang terlihat cemas sama sepertiku. "Apa ini akan membuatmu mimpi buruk lagi? kamu selalu mengigau namanya"

"Tidak. Aku tidak mungkin melakukan itu"

"Justin... Justin..."

"Hentikan! Kenapa kamu selalu menggoda Giska"

"Karena ia terlalu polos. Orang jahat suka dengan orang polos. Mereka bisa dimanifulasi dan dimanfaatkan" ucap Tania sambil mengangkat bahunya, mengambil amplop coklat di atas ranjangnya  dan duduk kembali di ranjang Mikela.

"Apa maksudmu?"

"Kamu seperti adikku. Terlalu polos sampai dibully dan dimanfaatkan." Ia tersenyum kecil lalu membuka amplop coklat dan membacanya.

"Apa aku benar mengigau seperti itu?" bisikku pada Mikela.

"Tidak. Tania hanya bercanda."

"Lihat. Ia bahkan percaya." Tania tertawa terbahak-bahak. Menyebalkan. Ia lagi-lagi menggangguku. "Kamu tahu tidur di atasmu itu menyebalkan. Kamu selalu berteriak seakan ada yang ingin membunuhmu"

Itu memang benar. Aku dipukul, di rendam di bak air dan di sudut rokok. Aku bahkan pernah di tusuk dengan paku dan jarum selama tiga tahun. Semenjak pindah kamar aku bisa tenang walaupun mereka selalu bisa menyakitiku. Setidaknya tidak separah dulu dan aku tidak tidur di toilet lagi.

"Kamu juga sama. Kamu juga selalu berisik saat tidur." Bohongku kesal ia mempermainkanku.

"Aku? Aku tidak pernah berisik. Karena setiap aku tidur di mimpiku hanya betapa menyenangkannya membunuh bajingan itu. Melempar mereka dari atas. Suara jatuh, tusukan, pukulan dan rintihan minta tolong. Mengemis memintaku melepaskan mereka. Ah, itu sangat menyenangkan. Itu mimpi indah."

Aku menyesal sudah berbohong. Mimpinya sangat mengerikan. Membuatku ketakutan.

"Apa kamu juga bermimpi suamimu dan selingkuhannya terbakar?" tanya Tania pada Mikela yang duduk di sampingku.

"Kadang-kadang. Tetapi aku selalu bermimpi bertemu dengan pria."

"Wah, mimpi liar?"

"Tidak!" wajah Mikela memerah. Ia memimpikannya. Aku tahu dari tahanan sini tentang hal-hal dewasa. Kadang mereka bercanda memperagakan hal yang menjijikan.

"Ya, kamu memimpikannya." Tania tertawa terlalu bersemangat. "Apa ia tampan?"

"Iya." jawab Mikela malu-malu. "Ia selalu ada dalam mimpiku."

"Apa kamu pernah bertemu dengannya?"

"Tidak. Tapi namanya Michael. Michael Angelo."

"Keluarga Angelo?" Tania mengernyitkan dahinya. "Michael Angelo"

"Apa kamu mengenalnya?"

"Hanya tahu saja. Keluarga Angelo bukan keluarga sembarangan yang bisa ditemui. Hanya orang yang sangat berpengaruh bertemu dengan mereka. Tetapi kamu bisa tanyakan pada Lily.  Lily yang lebih tahu karena ayah tirinya berteman baik dengan Michael."

Kami menoleh ke arah Lily yang duduk di ranjangnya. Kami baru ingat jika Lily bukan orang biasa. Ia tinggal di keluarga Kenrick. Salah satu keluarga yang paling berkuasa di kota ini. Maxim Kenrick adalah ayah tiri Lily yang memasukan Lily di penjara. 

"Sebelum aku ditangkap, aku mendengar kabar jika Michael mengalami kecelakaan di jalan tol mengarah keluar kota dan mengakibatkannya koma terakhir sebelum aku masuk penjara. " ucap Lily membuat kami terkejut.

Mikela terdiam lama. "Kapan?"

"Dua tahun yang lalu."

"Sepertinya sebelum beritamu membunuh suamiku keluar. Aku ingat karena beritamu dan kecelakaan Michael menjadi gosip yang dibicarakan di pesta." Lanjut Tania sambil menatap Lily yang hanya diam.

"Aku ingat. Ada mobil kecelakaan saat aku mengendarai mobil ke villa Ronald. Hari dimana aku membunuh suamiku." 

"Ah, mungkin saja Michael menghantuimu karena kamu hanya melewatinya. Tidak menolongnya."

"Aku tidak percaya hal seperti itu."

"Aku rasa Tania hanya menggodamu." Ucapku menenangkan Mikela agar ia tidak ribut dengan Tania.

Tania hanya mengangkat bahunya lalu duduk di tempat tidurnya. Mengambil berkas yang tidak aku mengerti bahasanya. Tulisan itu terlihat seperti kode. "Jadi, siapa pelakunya?"

"Pelaku apa?"

"Aku dengar dari salah satu sipir kamu berteriak pada wanita yang menemuimu."

"Aku tidak tahu siapa dia. Tetapi aku akan mencarinya setelah keluar nanti." Aku akan mencarinya sampai dapat dan membersihkan nama baikku.

"Beritahu aku nama wanita itu, aku akan membantumu."

"Bagaimana caranya?"

"Kirim saja surat dengan amplop seperti ini. Beri tanda 'Nemesis XS01' di sudut atas amplop." Aku menyadari jika semua amplop yang dikirim memakai nomor sandi itu.

"Sebenarnya kamu siapa?"

"Aku? Tania." Jawabnya dengan begitu mudah lalu menarik diri dengan kembali membaca berkasnya. Setiap kali kami mengorek jati dirinya ia selalu mengalihkan perhatian atau hanya diam membaca berkas seakan kami tidak ada.

Seandainya saja ia lebih tua dariku, aku akan memakluminya. Tetapi ia lebih muda dariku. Usianya baru 19 tahun dan bersikap menyebalkan. Lebih menyebalkan lagi aku tidak dapat melawannya. Ia bisa menjadi sangat berbahaya jika marah.

Meskipun demikian, aku rasa Tania sangat bisa diandalkan. Aku harus melakukan yang ia tawarkan setelah mengetahui nama wanita itu. Tania bisa menolongku dengan koneksinya.

 

******


Previous        Index        Next

Komentar

Postingan populer dari blog ini

NEMESIS

RyuKuni Game Chapter 2

Ryukuni Game Chapter 1