Kilatan cahaya kamera terus menerus menghujamku. Pertanyaan demi pertanyaan terus menerus dilontarkan oleh para pemburu berita.
Sudah tiga puluh menit aku berdiri dibelakang Kepala Divisi Humas Polisi Daerah yang menjawab semua pertanyaan wartawan ditemani beberapa petinggi polisi. Aku baru tahu jika kasus yang mereka tangani sangat berat. Pembunuhan anak perempuan keluarga Permana, Sindy Permana. Salah satu mahasiswi di universitas tempat ku kuliah.
Aku mendengar kasus pembunuhannya yang ramai dibicarakan apalagi pembunuhan itu terjadi di area univesitas dekat gedungku kuliah. Sindy ditemukan dengan keadaan yang mengerikan. wajahnya diir*s dan perutnya beberapa kali dit*suk. Pembunuh yang mengerikan padahal Sindy terkenal sangat baik dan ramah pada siapapun termasuk aku yang pernah berinteraksi sekali dengannya. Ia bahkan terkenal dan disukai oleh masyarakat karena sering melakukan kegiatan sosial.
Pertama kali mengetahui jika aku menjadi pengganti pembunuh Sindy, aku benar-benar ketakutan. Sangat takut. Keluarga Permana memang terkenal sangat baik di kota ini tetapi mereka juga bisa menjadi sangat jahat jika ada yang menganggu ataupun menyakiti keluarganya. Pak Dimas dan temannya, Pak Aldi meyakinkanku jika keluarga Permana tidak akan menyakitiku. Mereka akan menjamin keamananku.
"Ayo" pak Aldi memegang lenganku memberi tanda agar aku pergi.
Sudah selesai? Aku menatap wartawan yang masih belum puas menyodorkan pertanyaan. Kamera yang terus disorot padaku. Mengerikan. Rasa panik menghantamku hampir membuatku jatuh jika tidak ada Pak Aldi menahanku.
"Tenang. Kita pergi dari sini" Pak Aldi memegang lenganku agar kuat berjalan keluar ruangan.
Ternyata banyak wartawan yang mengejar kami. Pak Aldi menyuruhku cepat berjalan dan memerintahkan teman-temannya menghalang wartawan dibelakang kami.
Keadaan semakin kacau. Wartawan dan polisi saling mendorong. Pak Aldi turut membantu menahan wartawan yang ingin mengejarku. Yang seakan ingin melahapku.
"Lewat sini!" seorang Polisi menarik tanganku berjalan di koridor dengan cepat.
"Masuk ke dalam!" perintahnya membuka pintu dan mendorongku masuk ke dalam ruangan.
Seorang pria duduk disana menatapku dengan penuh kebencian. Apa dia juga polisi? Kenapa aku merasa familiar dengan wajahnya?
Pria itu berdiri. Berjalan mendekatiku. Kewaspadaanku membuatku mundur untuk menjauhinya. Aku menatap tubuhnya yang dibalut dengan kemeja dan jas. Dia bukan polisi. Lalu siapa?
Aku kembali menatap wajahnya. Aku ingat sekarang! I, itu Justin! Justin Permana! Aku sering melihat wajahnya di koran dan majalah. Apa yang harus aku lakukan sekarang?
"Kenapa kamu ketakutan sekarang, hah? Bukannya kamu seharusnya takut berpikir membunuh adikku sebelum melakukannya"
Aku tidak bisa menjawabnya. Karena bukan aku pelakunya. Bukan aku yang membunuhnya. Aku hanya pengganti sementara.
Brakk!!! Ia menghantam pintu dibelakangku membuatku menjerit. "Buka topeng sialan itu!"
Tidak! Aku mencengkram kuat topengku. Jika ia melihat wajahku maka sudah tamat riwayatku.
"Tidak?" ia menarik topeng diwajahku. Jari kukunya mengenai kulitku. Terasa perih. Tenaganya yang lebih kuat dibandingkan denganku. Ia berhasil membuka pertahananku yang terakhir.
Aku menolehkan wajahku. Menutup dengan kedua tangan. Menjaga agar ia tidak melihatku.
Terasa kedua tangannya mencengkram kuat pergelangan tanganku. Dengan mudah menarik kedua tanganku ke atas dan menghentakannya di pintu belakangku. Aku diam tidak bergerak. Terus menoleh ke samping berharap rambutku yang berantakan menutup wajahku darinya.
Ia mendekatkan wajahnya ke arahku. Hembusan nafas terasa dikulit wajahku. Jantungku semakin berdetak cepat. Takut apa yang akan ia lakukan.
"Kenapa kamu tidak ingin melihatku, Giska Putri"
Mataku melebar saat ia menyebut namaku. Jantungku seakan berhenti. Ia tahu namaku. Tanpa sadar aku menoleh ke arahnya. Bertatapan dengan pria yang ingin membunuhku.
"Akhirnya aku bisa melihat jelas wajahmu" ia menatapku rendah, seakan aku orang yang amat sangat menjijikan.
"A,aku..." lidahku kelu. Tubuhku bergetar ketakutan akan auranya yang mengerikan.
"Apa kamu sedang berakting menjadi cewek lemah?" sindirnya menatapku tajam. "Apa kamu akan mengatakan jika kamu sengaja membunuh adikku?"
"I.. Itu" aku ingin mengatakan bahwa bukan aku pelakunya. Tetapi aku sudah berjanji dan menandatangani perjanjian untuk tidak mengatakan pada siapapun yang sebenarnya.
"Dengar baik-baik. Aku akan membuatmu menderita! Akan ku buat kamu berniat bunuh diri berkali-kali. Tetapi aku tidak akan membiarkan kamu mati. Aku akan terus menyiksamu seumur hidupmu! Itu hukuman yang pantas! " ancam pria itu membuatku sangat ketakutan.
Mengerikan. Ia sangat mengerikan. "Menjauh dariku" aku mendorongnya dengan tanganku yang bebas.
Perbuatan yang sia-sia. Ia bahkan tidak bergerak sedikitpun. Sebaliknya, tanganku kembali dicengkram. Kali ini lebih kuat hingga membuatku meringis kesakitan.
"Sampai bertemu di pengadilan. Aku tidak akan membiarkanmu merasa aman terlalu lama disana" ucapnya sebelum melepaskan cengkaramannya dan mendorongku kebelakang begitu keras hingga menabrak dinding.
Sakit! Aku mengusap kepala dan pinggangku yang menghantan dinding. Ia membuka pintu dan keluar dari ruangan tanpa menoleh ke arahku.
Bagaimana ini? Ia sudah melihat wajah dan tahu namaku. Apa aku beritahu Pak Dimas? Bagaimana kalau ini malah menimbulkan masalah? Bagaimana kalau citra Polisi malah jadi jelek karena salah tangkap?
S, sebaiknya aku merahasiakannya saja dulu. Nanti setelah pelakunya tertangkap aku akan beritahu Pak Dimas. Biar nanti ia yang menjelaskan pada pria itu kalau mereka salah tangkap.
Pria itu pasti menerima permintaan maaf. Yang penting pelaku sebenarnya sudah tertangkap. Baik. Itu saja rencanaku. Sekarang lebih baik aku menutup topeng wajahku sebelum ada orang lain yang melihatnya.
*****
"Pak Aldi! Kenapa aku malah akan dibawa ke pengadilan?" tanyaku setelah diperintahkan untuk ke pengadilan yang hari ini akan dilaksanakan.
Marah kenapa ia tidak memberitahuku. Bahkan pengacara tidak memberitahu apapun setelah aku diminta mendantangani surat kuasa menunjuknya untuk membelaku. Aku baru sadar jika mereka berbohong padaku dengan mengatakan pengacara itu hanya untuk penjahat yang tertangkap nanti bukan untukku.
"Kami masih belum berhasil menangkap pelakunya. Kamu bersabar saja"
Sabar?! Bagaimana aku bisa sabar?! "Di pengadilan aku tidak bisa memakai topeng, kan?"
"Aku akan mengusahakan agar kamu memakai topeng"
"Tapi bagaimana kalau tidak boleh? Semua orang akan tahu wajahku. Mereka pasti mengira aku pelakunya!" teriakku frustasi dengan keadaan yang semakin memburuk.
"Aku akan mengatakan yang sebenarnya. Aku akan mengembalikan semua uang yang bapak Dimas kasih"
"Jangan macam-macam! Kamu pikir ada yang percaya dengan omongan kamu!"
Akhirnya aku bisa melihat sikap pak Aldi yang sebenarnya. Ia bukan orang yang baik. Ia jahat. "Aku yakin ada yang percaya"
Pak Aldi tertawa mengejekku. "Coba saja" Pak Aldi maju mendekatiku.
"Jangan mendekat! Aku akan berteriak" ancamku meski berada di ruang pemeriksaan yang biasa kami bicara. Aku yakin ada orang dibalik kaca melihat dan mendengar percakapan kami.
Bukan mundur, Pak Aldi maju ke arahku. Dengan cepat tanpa bisa aku hindari, ia melumpuhkanku dengan mudah. Lalu rasa sakit jarum menusuk kulitku.
Cairan terasa masuk ke tubuhku. Perlahan tenagaku hilang dan aku jatuh ke lantai. Kesadaranku berlahan mengabur.
Terdengar suara Pak Aldi seakan
menghinoptisku. Yang aku ingat hanya mengulang semua ucapannya. Terus mengulang
sampai aku hilang kesadaran.
******
Tidak ada seorang pun yang mempercayaiku. Berkali-kali aku mengatakan kebenaran tetapi tidak ada yang percaya. Semua bukti mengarah kepadaku. Terutama rekaman aku mengakui membunuh Sindy Permana. Aku dijebak. Aku bukan sebagai pengganti sementara tetapi sebagai pengganti tersangka pembunuhan seumur hidupku.
Aku ingin berteriak. Sangat ingin. Tetapi jarum yang disuntikan kepadaku oleh Pak Dimas membuatku seperti orang bodoh. Orang tolol yang hanya duduk diam dan mengikuti perkataan mereka untuk mengatakan 'iya' "aku membunuhnya" setiap pertanyaan yang diajukan.
"Maka dengan ini saudari Giska Putri dijatuhi hukuman penjara selama 5 tahun" ketuk palu hakim mengesahkan hukuman yang tidak aku lakukan. Itu lebih ringan dibandingkan tuntutan jaksa 20 tahun penjara.
Suara orang-orang yang tidak puas dengan hukuman yang aku dapatkan. Aku berdiri dipegang oleh polisi yang membawaku keluar ruang sidang. Aku tidak dapat melawan saat mereka membawaku masuk ke dalam ruangan yang ada pria tua didalamnya menungguku.
"Kamu pasti senang dengan putusan hakim, kan?" Tanya pria tua duduk dihadapanku.
"Iya"
"Kamu bisa senang sekarang tetapi hukumanmu yang sebenarnya bukan di penjara. Setelah keluar, aku akan membuatmu menderita" ucapnya dengan penuh amarah.
Harusnya aku takut tetapi aku tidak dapat mengungkapkannya. "Iya"
"Apa kamu benar-benar membunuh Sindy Permana?" tanya pria tua itu menatap tajam ke arahku.
"Iya, aku membunuhnya"
"Apa kamu bukan pembunuhnya?" tanyanya lagi.
"Iya"
"Bawa dia pergi" perintah pria tua terdengar samar-samar.
Aku dibawa keluar ruangan. Berjalan jauh entah kemana ia membawaku. Mataku mengabur sesaat lalu perlahan semua terlihat jelas. Rasa pusing dan keringat dingin menyerangku. Mengedipkan mataku agar fokus, Kesadaranku perlahan semakin kuat.
"Bukan aku pembunuhnya! Bukan aku! Aku bukan pembunuh!" aku berteriak. Berharap siapapun yang mendengarku, mereka mempercayaiku.
Pintu terbuka keras di salah satu ruangan yang kami lewati. Dua polisi berjalan ke arahku. Mengambil alih dari polisi yang membawaku.
Tidak! Aku tidak mau! Tolong! "Lepaskan! Aku bukan pembunuh!". Aku berusaha untuk melepaskan diri dari mereka.
"Bawa dia!" perintah Pak Aldi yang datang menyuruh dua polisi membawaku. Menyeretku.
"Tidak! Aku tidak mau!" Mereka menyeretku sepanjang koridor.
"Bawa ia masuk kedalam ruangan. Penyakitnya kambuh lagi"
"Tolong lepaskan aku! Aku tidak mau masuk ke sana!" Mohonku pada mereka yang terus menyeretku masuk ke dalam. Pak Aldi mengeluarkan suntikan dari kantong celananya.
Aku berusaha memberontak. Tetapi tenaga mereka lebih kuat. Jarum suntik terasa menembus kulitku. Sakit yang berubah menjadi panas. Cairan yang tercampur dengan darahku mengalir ke otakku.
Tubuhku terasa sangat lemah tidak bertenaga. Pikiranku kosong. Aku tahu aku sudah kembali jatuh dalam kuasa mereka. Aku kembali seperi orang bodoh yang mengikuti keinginan mereka.
Aku hanya berharap, sedikit saja agar ada
orang yang mempercayaiku diluar sana. Aku hanya ingin ada seseorang
menyelamatkanku dari neraka ini.
*****
Komentar
Posting Komentar