Cahaya dari kamera menyilaukan belum lagi ditambah dengan pertanyaan dari wartawan yang mengharuskan untuk tetap tersenyum dan ramah. Tetapi gue lebih memilih jalan lain sebelum mata gue silau karena kamera mereka.
Walaupun gue beberapa kali menghadapi kilatan cahaya dari kamera tetap aja gue ga terbiasa. Apalagi nanti akan ada pertanyaan tentang gosip gue dan Laura. Biar Laura yang jawab semua pertanyaanya. Gue akan mengikuti alurnya selama masih bisa gue toleransi.
"Lo menghindar dari wartawan?" Andi menatap sinis gue. "Gosip lo dan Laura malah bikin mereka fokus di situ bukan di film!"
"Gue juga ga mau digosipi. Gue juga mau supaya film ini laku di bioskop." Balas gue sambil menghela nafas.
Andy hanya mendengus mendengar jawaban gue. "Gue sudah siapin tempat duduk khusus buat lo!" Ucap Andi sambil mengajak gue masuk ke dalam ruang bioskop.
"Bukannya gue biasa duduk di sebelah lo?" Tanya gue yang berjalan di sampingnya.
"Ya, dan pacar baru lo!"
"Bukannya lo ga suka orang-orang fokus dengan gosip kami?"
"Memang tapi gue akan ambil kesempatan ini buat promosi gratis."
Promosi gratis? Apa hubungannya? Yang ada orang-orang malah ga bakal nonton!
"Apa bisa dia duduk di tempat lain?"
"Dia pemain utama. Kalau lo mau, gue bisa atur lo duduk dengan Riana"
"Ga, gue duduk sebelah lo."
Gue dan Andi memasuki ruang bioskop di beri tanda tempat duduk kami. Duduk di kursi yang sudah disediakan. Menunggu semua orang masuk sebelum memutar film.
Laura masuk ke dalam. Terkejut begitu tau kalau dia duduk di sebelah gue.
"Maaf, gara-gara gue, lo digosipkan yang engga-engga." Ucapnya setelah ia duduk di sebelah gue.
Hm,hm. Kalimat klise. Gue mengangguk ga mau bicara dengannya. Hanya menatap ke ponsel yang ada di tangan gue.
Saat semua orang sudah masuk, Andi berbicara di depan sebelum film ditayangkan. Duduk dengan tepukan dari kami semua dan siap menunggu film diputar.
Gue menatap layar di depan yang menampilkan seorang gadis duduk di dalam angkutan umum yang penuh dengan orang. Wajahnya terlihat kusam berbeda dengan cewek yang duduk di sebelah gue.
Gadis bernama Lian di layar terlihat cemberut sesekali mendongkak ke arah pintu yang ga di tutup. Menghirup udara segar.
Gue menikmati alur cerita yang menampilkan gadis itu dipaksa menikahi orang kaya di desanya. Dijadikan istri yang kesekian.
Ia melarikan diri ke kota. Saat di kota ia jatuh cinta dengan seorang laki-laki. Sayangnya, laki-laki itu malah menjualnya dengan Pak Mirja, tuan tanah di desa laki-laki itu.
Lian yang ga tau kalau ia dijual oleh pacarnya, mengira kalau pria tua yang ada di hadapannya ayah pacarnya. Pak Mirja hanya tersenyum dan meminta salah seorang pelayan membawa Lian ke kamar yang disediakan.
Lian yang kagum dengan kamar yang ditempatinya. Ia ga tau kalau pacarnya meninggalkan dia sendiri bersama pria tua dan para pelayannya di vila itu.
"Dimana Heru?" Tanya Lian saat ia duduk di ruang makan.
"Ia balik ke kota."
"Balik ke kota? Kenapa tidak bilang dulu?"
"Kamu tidur saat ia pergi." Jawab Pak Mirja dengan tenang.
"Sediakan makanannya." Perintah Pak Mirja yang langsung dilaksanakan oleh para pelayannya.
Lian tidak curiga dengan semua yang ada di vila itu. Ia bahkan tidur nyenyak.
Tetapi di belakang vila, seorang pria menarik kerah baju pelayan yang terbujur kaku ke arah lubang.
Melihat wajah pelayan itu yang tetap diam ditarik, bikin gue salut dengan Andi. Gue dengar Andi emosi harus take ulang sampai ratusan kali adegan itu. Bahkan sampai harus diundur keesokan hari sampai mendapat hasil yang memuaskan. Belum lagi dengan perkelahian Riana dan Marcella yang menghambat proses syuting.
Riana selalu mengadu ke gue kalau dia dimarahi Andi sampai akhirnya ia tidur kelelahan di lokasi syuting. Andi menggunakan kesempatan itu untuk mendapat adegan yang seperti sekarang diputar di layar.
Lalu adegan saat tubuh Riana masukan di sebuah lubang yang sudah digali sangat sempurna. Di tutup dengan tanah pun tidak bergerak sedikitpun. Itu karena Andi memakai boneka pengganti yang aktingnya jauh lebih baik dan ga perlu retake.
Semakin lama alurnya semakin mencekam. Lian sadar kalau ia dijual ingin melarikan diri. Tetapi ia ditahan oleh Pak Mirja dan orang kepercayaannya. Di bawa ke ruang bawah Vila. Ruang penyiksaan pak Mirja.
Tangan Laura memegang lengan jas gue yang gue sandar di sandaran kursi. Ah, trik biasa. Gue hanya diam di kursi gue. Menonton film yang di puncak cerita.
Laura semakin menarik lengan jas gue. Mencondongkan tubuhnya ke arah gue duduk dan menyembunyikan wajahnya menggunakan lengan gue.
Oke! Ini berlebihan! Gue ingin mendorong Laura. Hampir. Kalau engga ada tangan menarik jas gue begitu kuat. Gue benar-benar nyesal duduk di antara dua orang penakut!
Bukannya Laura sendiri pemainnya? Harusnya ia ga perlu takut dengan adegan yang ia peranin!
Andi lebih parah lagi! Ia sutradara film ini! Sebelum film ini diputar, ia yang mengarahkan semua adegan sampai editing hingga menonton semuanya sebelum ditayang.
Gue ga fokus menyaksikan film yang ditayangkan. Tangan gue sakit jadi pelindung mata dan jas gue kusut buat selimut mata! Gue menatap pelaku yang memasang wajah ga bersalah begitu film selesai. Menarik lengan gue yang dari tadi dipegang. Tau gini, lebih baik kumpul dengan mereka Vio!
"Baju lo kusut, Tor." Andi menunjuk hasil buatannya sambil cengir.
"Lo jangan lagi bikin film kayak gini kalo lo takut!" Gerutu gue mengibas jas gue. Lalu berdiri ingin secepatnya pergi dari sini!
"Mau kemana lo? Habis ini ada wawancara."
"Gue mau pulang!" Gue ga peduli dengan Andi. Melewati Laura yang diam.
Untung jas gue ga dikancing! Kalau engga, kancingnya bakal lepas ditarik! Belum lagi kalau misalnya robek! Bikin malu gue!
"Tory! Tunggu!" Panggil suara di belakang gue. Mendengar suaranya semakin buat gue melangkah kaki lebih cepat. Sayangnya ia lebih cepat dari gue.
"Tory, ponsel lo," Laura menyodorkan ponsel gue. "Tadi tertinggal di kursi."
"Thanks." Gue mengambil ponsel gue dan memasukannya ke kantong jas.
"Maaf, gue tadi takut jadi refleks pegang lo."
"Laura," Gue menatap tajam Laura. "Gue sudah muak dengan permintaan maaf lo dan semua trik lo."
"Gue diam bukan berarti lo semakin seenaknya jadiin gue batu pijakan lo!"
"Gue ga pernah jadiin lo batu pijakan. Gue juga ga tau kalau ada orang yang merekam kita saat di parkiran waktu itu," Ucapnya dengan wajah serius.
"Gue juga sudah jelaskan kalau itu hanya gosip. Kita ga pacaran"
"Terserah. Yang pasti gue ga mau jadi bahan gosip lagi!"
Baru gue ucapkan kata itu ke Laura tiba-tiba wartawan datang menyerbu kami. Memberondong dengan pertanyaan.
"Kami hanya akan menjawab pertanyaan seputar film 'Vila Merah'." Jawab gue berdiri dengan tenang di tengah para wartawan yang mengelilingi gue dan Laura.
"Jadi karena dia kamu putusin aku?!" Teriak Marcella di belakang wartawan. Suaranya mengalahkan suara wartawan hingga menarik perhatian. Memberinya jalan agar bisa berhadapan langsung ke gue.
Setelah postingan yang ia sebar kalau ia putus diselingkuhi ga dapat tanggapan memuaskan, ia menemukan cara agar semua orang bersimpati dengannya! Sayangnya rentang waktu yang lama, siapa yang akan percaya dengan ucapannya? Ia malah bersedia menjadi bahan gosip baru dan dicemooh lagi oleh orang banyak!
"Kamu tega putusin aku! Aku kurang apa?!" Marcella menunduk menutupi wajahnya dengan rambutnya. Menangis di pundak manager barunya yang tubuhnya lebih kecil darinya.
"Saya putus dengan kamu bukan karena Laura. Tapi karena sikap kamu ke orang tuamu." Dia pikir cuma dia yang bisa licik, huh!
Kalau dia bisa bikin gosip sampai buat nama gue jelek, gue bisa bikin namanya diingat sampai selamanya!
Marcella tersentak mendengar ucapan gue. Lalu kembali pura-pura menangis. Siapapun tau kalau ia berbohong! Kali ini semua orang akan cari tahu maksud ucapan gue. Gue yakin ga lama semua orang tau kalau Marcella berbohong mengenai orang tua dan statusnya.
Ia selalu memberitahu kalau orang tuanya pengusaha kaya. Nyatanya ga seperti yang ia ucapkan. Orang tuanya petani di desa. Dia malu kalau orang tau ia hidup miskin.
Padahal kalau aja dia jujur, ia akan mendapat simpatik dari orang-orang. Seorang gadis desa bisa menjadi seorang model terkenal. Bukannya itu suatu pencapaian yang baik? Sayangnya ia malah memilih sebaliknya. Malu akan asal usul dan orang tuanya.
Kalau gue ga sengaja melihat orang tuanya diusir saat mereka datang ke apartementnya, mungkin gue ga pernah tau kelakuannya! Gue yang sengaja ingin memberi kejutan di depan pintu tanpa memberinya kabar, hilang mood begitu menyaksikan kata-kata hinaan yang ia ucapkan ke orang tua dan saudarinya.
"Marcella dan saya sudah putus satu tahun yang lalu." Gue memberi statment terakhir sebelum gue pergi meninggalkan kerumbunan.
Andi pasti bakal marah dengan gue karena orang-orang akan membicarakan gosip daripada filmnya. Gue bisa membayangkan ia akan menyinggung terus menerus sebelum jumlah film laris ditonton banyak orang.
Apa gue beli tiket dan bagikan ke semua karyawan? Ga. Kalau Andi tau, ia pasti bakal makin meneror gue dengan ocehannya. Bahkan ia ga akan mau gue jadi investor film karyanya lagi.
Baru beberapa meter bebas dari wartawan, Paris berjalan ke arah gue. Hah... Kenapa hari ini gue sial!
Gue membalikan tubuh gue ke belakang. Meraih lengan Laura yang berjalan di belakang gue.
"Kenapa..." Tanya Laura yang terkejut lalu menatap ke depan dan bersikap tenang.
"Ayo," Gue memegang tangannya. Ga peduli dengan headline yang nanti akan gue hadapi.
"Ka Tory," Paris tersenyum menghentikan langkah gue.
"Selamat untuk film 'Vila Merah'." Ucapnya dengan wajah yang bisa menipu semua orang. Terlihat polos dan anggun tetapi di balik topengnya hanya sedikit orang yang tau kelakuan aslinya. Ia bahkan ga menganggap Laura ada. Sengaja mengacuhkan Laura.
"Terima kasih" Balas gue juga sambil tersenyum.
"Paris," Panggil wartawan yang mengenal Paris karena postingannya di media sosial.
Ia memiliki banyak pengikut yang suka dengan gaya hidup yang dipotret sedemikian sempurna saat di luar negeri di setiap postingan sosmednya. Bahkan banyak yang menawarkannya menjadi BA dengan bayaran yang mahal.
Gue memberi tanda pada Laura untuk terus jalan. Biar Paris jadi pusat perhatian karena baru datang dari luar negeri. Pasti banyak yang ingin mewawancarainya.
"Lo berdua..." Andi menatap kami sambil tersenyum penuh arti begitu melihat kami menuju stage interview yang sudah disiapkan.
"Gue bawa artis lo buat wawancara." Potong gue sebelum Andi berpikir lebih jauh hubungan kami.
"Lo ga ikut wawancara?"
"Ga. Gue ada janji setelah ini,"
"Padahal ada pesta setelah ini."
"Pass. Lain kali aja."
"Oke, jangan lupa janji besok," Andi mengingatkan gue janji yang sudah kami buat jauh hari.
"Gue pasti datang." Balas gue sambil menjauh pergi ke arah jalan keluar yang lain demi menghindari wartawan, Marcella, dan Paris.
Gue meninggalkan gedung acara. Ternyata Marcella dan manager menunggu dekat mobil gue yang terparkir. Apa lagi sekarang?
Gue melirik ke arah supir gue yang keluar dari mobil. Ekspresi wajahnya terlihat pasrah dan bersalah karena ga bisa mengusir Marcella.
"Tory, aku mau bicara sama kamu,"
"Lo mau bikin gosip yang sama kaya gue dan Laura di parkiran?" Sindir gue menatap sinis padanya.
Setelah setahun, ia tetap ga bisa secerdik Riana. Riana ga pernah mengusik gue lagi setelah gue peringati. Bahkan ia bersikap biasa saat bertemu di premier.
"Kali ini apa? Lo mau nampar gue atau lo mau nangis buat menarik simpati orang?"
"Hubungan kita sudah berakhir setahun yang lalu. Gue ga peduli kalau lo mau bikin nama lo jelek buat naikin popularitas. Tapi jangan bawa-bawa gue!"
"Tory, aku ga mau popularitas," Marcella menahan air matanya jatuh. Kali ini aktingnya lebih baik dari yang tadi. Kalau aktingnya sehebat ini, lebih baik ia pindah jadi aktris dibandingkan jadi model!
"Aku minta maaf. Aku lakuin ini karena aku masih cinta sama kamu."
"Kalau kamu putusin aku karena sikap aku ke orang tuaku, itu karena mereka sangat jahat sama aku. Mereka selalu berhutang dan aku harus bayar semua hutang mereka. Mereka juga jahat sama aku, huhuhu..." Marcella menangis bikin kepala gue pusing.
"Siapa yang bayar lo buat lakuin ini?"
"Ga, ga ada yang bayar. Gue lakuin ini karena gue cemburu kamu jadian sama Laura,"
"Jefry yang nyuruh lo buat bikin gosip baru?"
Terlihat di wajahnya terkejut dan matanya terlihat panik. Begitu juga dengan managernya yang salah tingkah dan tetap mengusap punggung Marcella.
Setelah foto-foto Jefry dan selingkuhannya tersebar di dunia maya, banyak orang yakin kalau ia ayah anak yang dikandung selingkuhannya. Menghubungkan semua berita yang ada. Bahkan seperti yang Sean katakan. Cewe selingkuhannya mengakui kalau Jefry ayah anak yang ia kandung dan meminta Jefry bertanggung jawab. Beritanya menyebar sangat cepat tidak hanya di kalangan biasa tetapi juga kalangan atas.
Punya selingkuhan dan punya anak di luar nikah memang biasa untuk kalangan atas. Tetapi mereka akan menyimpannya sangat rapat. Tidak ingin aib menjadi konsumsi publik dan Jefry gagal menutupi aibnya.
Sekarang, setelah ia jatuh ke dalam lumpur, ia ingin menyeret gue juga?
"Marcella, gue akan bikin popularitas lo naik dalam semalam. Dan nama lo akan diingat sepanjang hidup lo." Ucap gue sebelum masuk ke dalam mobil.
"Tunggu! Tory! Maaf!" Marcella menggedor kaca jendela.
"Jalan." Perintah gue pada sopir yang baru duduk di kursinya.
"Baik, Pak." Ia menghidupkan mesin. Tapi Marcella malah lari ke depan mobil menghalangi kami.
"Bagaimana ini, Pak?" Tanya supir menatap gue bingung harus gimana.
"Tekan klakson sampai ia minggir. Buat ia jadi pusat perhatian."
Supir langsung menjalankan perintah. Ia menekan terus klakson.
"Aku akan tetap disini sampai kamu keluar!" Teriak Marcella di tengah-tengah bunyi klakson yang keras.
Awalnya ia begitu percaya diri saat ia jadi pusat perhatian menghadang mobil dengan membentangkan tangannya.
Orang-orang yang lewat dan yang ingin pergi dari gedung memintanya pindah karena menyebabkan macet. Ada juga yang meminta kami berhenti membunyikan klakson dan meminta gue keluar. Lalu mereka mengangkat ponselnya ke arah kami. Terutama Marcella yang tetap menghadang kami.
Supir gue akhirnya keluar. "Ibu tolong pindah. Jangan menghalangi jalan! Ibu buat macet di sini!" Teriak supir gue yang bikin orang-orang menyindir Marcella.
Mobil di belakang juga menyembunyikan klakson. Memaki Marcella untuk segera pindah.
Begitu mendengar makian yang direkam, manager Marcella segara menarik Marcella ke pinggir.
Supir gue segera masuk ke dalam dan menjalankan mobil.
Malam ini lebih buruk dari dugaan gue. Jika Laura sudah gue antipasi, kehadiran Marcella dan Paris bikin semua runyam.
Tentu aja gue harus membalas Marcella yang dibayar buat bikin gosip gue dan Laura memanas. Begitu juga dengan Jefry yang semakin putus asa sampai melewati batas toleransi gue. Kali ini ia ga hanya akan mendapat balasan dari gue tetapi juga dari papi. Membayar mantan gue buat merusak nama baik, ia pikir orang tua gue akan diam aja, huh!
Dan Paris, Sayangnya untuk saat ini gue bisa berbuat apapun ke Paris kecuali menghidarinya. Meskipun gue ga ingin dengan kehadiran Laura di kehidupan gue, menempel ke gue lagi setelah gue terbebas darinya, tapi gue perlu dia untuk melawan Paris. Harus gue akui, hanya Laura yang bisa mengalahkan Paris.
*******
Komentar
Posting Komentar