Apa benar yang dikatakan Nike? Keraguan meronggotiku. Tetapi di sisi lain aku mengelak. Kania tidak mungkin seperti itu! Kalaupun benar ia hamil, ia pasti akan cerita padaku. Kalau benar ia hamil, petugas yang memeriksa jenazahnya pasti memberitahu keluargaku.
Tidak. Aku yakin Nike berbohong! Kania tidak memiliki hubungan dengan pak Danny. Apalagi sampai hamil dan bunuh diri. Aku yakin Kania tidak seperti itu!
Suara pintu terbuka diikuti tawa membuatku waspada. Siapa yang masuk ke ruang OSIS? Aku mengintip dibalik ruang rahasia yang hanya ketua OSIS yang tahu tempat ini.
Sebelumnya aku tidak pernah lebih dari jam 4 sore di ruang OSIS. Aku lebih memilih menyelesakan tugas-tugasku dan cepat pulang karena setiap sore aku harus menyelesaikan tugas penting dari papa.
Kali ini aku memilih berlama untuk pertama kali sejak aku menjabat menjadi ketua. Aku ingin menenangkan pikiranku yang terkecamuk. Nyatanya aku salah. Badai itu sendiri malah mendatangiku.
Aku melihat Helen, sekretaris OSIS masuk ke dalam diikuti oleh Vani dan teman-temannya. Yang membuatku kesal Nike ikut masuk ke dalam.
"Rasakan guru sialan itu!" maki Pablo, pacar Vani membuatku penasaran siapa guru yang ia maksud.
"Itu balasannya guru itu berani memarahiku didepan kelas!" ucap Pablo semakin membuatku curiga. Pikiranku langsung tertuju pada guru yang digosipkan menghamili Kania.
"Hahaha... Danny pasti dikeluarkan dari sekolah! Aku yakin ga akan diterima mengajar dimanapun!" sambung Bobby, teman dekat Pablo tertawa keras diikuti dengan Vani, Kelly, Ricko, Helen, Celine dan Nike?
"Sakit hati kamu juga terbalaskan, Nike" ucap Kelly sambil menyalakan rokoknya.
"Ya, guru itu pantas mendapatkannya. Beraninya menolakku dan memilih bu Riska!" jadi ia sengaja menyebar kebohongan untuk membalas dendam dengan guru yang tidak bersalah?! Tetapi kenapa harus menghancurkan nama baik Kania?!
Lihat saja! Aku akan menunjukan bejatnnya kalian! Aku mengambil bolpoin yang selalu ada di sakuku. Bolpoin hadiah daddy yang bisa merekam suara.
Aku menekan tombol dan merekam apapun yang mereka katakan. Pikiranku membaca ada hal yang mengerikan yang aku harap itu semua salah.
"Bagaimana kalau orang tua Kania meminta otopsi untuk mengecek kebenarannya?"
"Tidak mungkin. Mana berani mereka melakukannya. Mereka pasti lebih memilih diam dibandingan melihat jasad anak mereka diobrak abrik"
"Itu benar. Tidak akan ada yang membela pak Danny. Hanya aku saksi yang ada"
"Saksi palsu hahahaha.. Wah, kamu
benar-benar mengerikan, Ke. Kita harus berhati-hati dengannya. Bisa saja ia
memfitnah kita seperti yang ia lakukan pada guru sialan itu dan Kania"
"Ga perlu terima kasih. Aku juga membenci guru itu" balas Pablo yang tersenyum senang sambil memeluk Vani di sampingnya.
"Benar. Lagipula menyenangkan ada yang
bisa kita mainkan" ucap Kelly yang tertawa lebar.
Ada yang bisa mereka mainkan? Aku menajamkan tatapanku pada para bajingan yang terlihat senang sudah menghancurkan hidup orang lain. Kania dan Pak Danny korban fitnah bajingan hanya karena mereka sakit hati!
"Siapa target berikutnya?" tanya Ricko bersemangat. Ricko yang selama ini terkenal bersikap baik dan ramah dengan siapapun ternyata itu semua hanya topengnya.
"Gimana kalau bu Riska. Ah... Ia membuatku ter*ngs*ng. Aku ingin memperk*sanya" lanjut Ricko membuatku jijik.
"Sialan! Apa aku masih belum cukup?" tanya Helen dengan bangga jika ia tidur dengan pacar sahabatnya.
"Aku perlu variasi. Lagipula kamu milik Bobby" sangat menjijikan! Mereka bahkan dengan santainya tidur dengan pacar temannya seakan semua hal yang biasa.
"Si brengsek ini lebih suka tidur dengan cewek lain" maki Kelly menendang Ricko.
"Aku hanya melakukan hal yang sama seperti kamu"
"Kalian menjijikan" ucap Pablo diikuti tawa Vani, Nike dan Celine.
"Kalau begitu target sudah ditentukan. Bu Riska. Aku yakin saat ini ia terpukul pacarnya diperiksa polisi" Ucap Vani menyetujui usul Ricko.
"Apa kita ke rumahnya sekarang?" tanya Ricko terlalu bersemangat
"Bu Riksa tinggal dengan orang tuanya. Ayah dan kakaknya polisi" tahan Nike membuat mereka diam.
"Sial!" maki Ricko yang ditertawakan oleh Bobby.
"Aku punya target yang cocok untuk selanjutnya" ucap Vani dengan nada bersemangat.
"Siapa?"
"Karen" nama yang disebut Vani membuatku terenyak. Karen teman dekat kami dan ia bisa begitu mudahnya menargetkan Karen?! Meski Karen suka berkata ketus pada Vani tetapi jika Vani dalam kesulitan, Karen selalu membantunya. Membelanya!
"Berapa taruhannya?" tanya Helen sambil mengedarkan pandangan ke teman-temannya.
"Aku bertaruh 1 juta buat melukai wajahnya" ucap Vani dengan senyum mengerikan.
"2 juta buat perk*sa dia" balas Ricko sambil tersenyum.
"Aku bertaruh 5 juta buat mencekik lehernya" ucap Kelly dengan begitu santai.
"Aku ikut Kelly, 5 juta untuk cekik lehernya" sahut Nike dengan tersenyum lebar.
"Ga. Kita sudah berulang kali bicara jangan cek*k. Ingat, kita hampir ketahuan waktu mencekik Rani" tolak Vani yang disetujui oleh Pablo.
Rani? Anak kelas 2 yang gant*ng diri di sekolah? Jadi mereka pelakunya?! Mereka bukan hanya melukai dan merusak hidup orang lain tetapi ingin membunuh nyawa orang demi kesenangan?!
"Baik, kalau begitu 5 juta untuk mengh*ntam kepalanya" lanjut Nike membuatku bergidik.
"Seperti anak kelas 1 kemaren? Sahabat kamu?" ejek Bobby membuat jantungku seakan berhenti berdetak. Terkejut dengan apa yang aku dengar.
"5 juta untuk melempar tubuhnya sama seperti cewek itu" ucap Helen yang membuatku amarahku memuncak.
Mereka lah yang menghantam kepala Kania dan menjatuhkannya hanya demi taruhan! Mereka semua pembunuh Kania!
"10 juta untuk menabrak tubuhnya. Bukannya lebih menantang kalau kita tabrak lalu kita buang tubuhnya ke sungai?" Ide dari Pablo mengerikan! Membahas rencana membunuh orang seakan nyawa orang tidak berharga!
"Bagaimana kalau ada saksi?" tanya Celine ragu.
"Ga akan ada saksi. Kita bawa ia keluar kota. Kalian bisa melakukan yang kalian mau selama perjalanan. Lalu berhenti di jalan yang sepi dan bummmm!" jawab Vani yang ternyata sama psikopatnya dengan Pablo.
"Kalian memang gila! Semua ide kalian berdua selalu buat aku semangat" balas Ricko yang bersemangat membuatku semakin jijik dan muak melihat wajah mereka!
"Menarik tetapi tetap saja beresiko" Celine menolak rencana mereka.
"Dengar, kita ga bisa lakuin hal sama. Kalau kita membuat alibi bunuh diri lagi dengan menjatuhkan dari gedung, polisi akan curiga dan mengusutnya" ucap Bobby yang ikut setuju dengan ide gila dari Pablo dan Vani.
"Yang dibilang Bobby benar. Aku ga mau kita kena resiko yang lebih besar" tambah Helen menyetujui perkataan Bobby.
"Oke, kalau gitu aku setuju" Kelly lalu melirik ke arah Celine dan Nike. "Gimana dengan kalian berdua?"
"Aku setuju" jawab Nike tanpa ragu
"Aku juga setuju" balas Celine lalu diam tidak bersemangat.
"Bagaimana kalau kita tambah satu target lagi" ucap Bobby menyeringai seperti serigala.
"Siapa?"
"Ketua OSIS kesayangan kita, Tania" Lanjut Bobby dengan wajah menantang teman-temannya.
Ia ingin aku menjadi target mereka? Huh! Seakan terdengar suara kunci terbuka dipikiranku. Kunci kotak kegelapan yang membunuh nuraniku sebagai manusia. Amarah yang begitu besar meluap. Menenggelamkan hati nurani dan pikiranku. Hanya kebencian yang menguasaiku. Mereka semua tidak layak untuk hidup! Mereka harus mati!
"Kamu gila! Papa Tania sangat kaya dan berpengaruh. Kita ga bisa macam-macam dengannya" Celine menggelengkan kepalanya.
"Justru karena itu. Kita butuh tantangan lebih tinggi lagi"
"Hanya tantangan?" tanya Pablo dengan senyuman menjijikannya bisa menebak pikiran Bobby.
"Well, sebenarnya aku ingin mencic*pi tubuhnya" Bobby mengakui sambil tertawa.
Menjijikan! Aku kembali menahan diriku keluar dari persembunyianku. Aku tidak sabar ingin menghabisi mereka semua!
"Ayo, aku akan menghilangkan keinginanmu pada jalang itu" Helen menarik kerah baju Bobby. Seperti pelacur menarik Bobby keluar dari ruangan.
"Aku ga bisa membiarkan hanya mereka berdua bersenang-senang" Ricko mengikuti mereka sambil menarik Kelly.
"Mereka bikin aku terangs*ng" ucap Pablo yang dapat aku dengar dari tempatku bersembunyi.
"Kan ada aku" Vani merangkul pundak Pablo dan menciumnya.
"Sial! Cari tempat lain!" teriak Nike yang dibalas tawa.
"Ayo" Vani menarik Pablo berdiri dan menggandengnya keluar dari ruangan.
"Aku juga mau keluar. Ada buku ketinggalan di kelas. Kamu mau ikut?" tanya Celine pada Nike yang duduk sambil memainkan ponselnya.
"Ga, aku tunggu di sini"
"Oke" Celine keluar dari ruangan.
Bagus. Hanya tersisa Nike di ruangan ini. Tubuhku dikuasai oleh emosi. Akal sehatku lenyap semakin lama aku melihat wajah bajingan yang membunuh adikku. Nyawa harus dibalas dengan nyawa! Aku akan membunuhnya!
Aku keluar dari persembunyian. Memperlihatkan diriku pada cewek yang sangat ku benci. Menikmati ekspresi terkejutnya seperti melihat monster.
"K, ka Tania?" Nike tergagap bahkan salah tingkah.
Aku tersenyum sinis padanya. Berjalan ke arah pintu dan menguncinya.
"Ka, aku ingin keluar"
Keluar, huh? Aku membalikan tubuhku ke
belakang. Berhadapan dengannya. Senyumku mengembang.
"Keluar kemana?"
"Ka, tadi kami hanya bercanda" Ucapnya dengan nada takut tetapi aku tahu tangannya menyembunyikan pulpen yang ia pegang untuk menyerangku.
"Tentu, kalian hanya bercanda" balasku sambil mengambil payung yang berada di keranjang dekat pintu. Aku memang selalu menyediakan payung untuk anggota OSIS jika sewaktu-waktu cuaca hujan.
"Aku juga bercanda" ucapku dengan tersenyum lebar lalu mengayunkan payung ke arah Nike.
Ia menghindar dari seranganku dan berlari ke arahku dengan pulpen di tangannya. Aku kembali mengayunkan payung ke arahnya hingga mengenai bahunya.
"Ahhhh!!!" ia tertunduk dengan memegang bahunya. Lagi, aku mengayunkan payung kali ini ke arah kepalanya.
Ia melindungi seranganku dengan lengannya. "Ampun... Maafkan aku kak..." mohon Nike meminta belas kasihan.
"Apa itu yang diucapkan Kania saat kalian memukul kepalanya, huh?!"
"Maaf kak... Aku, aku akan minta yang lain tidak menargetkan kakak"
"Hahaha... Tidak menargetkanku?" Aku memukulnya lebih keras hingga terdengar suara patah.
"Bukan kalian pemburu disini tetapi kalian targetku" Aku menarik kerah baju Nike. Ia berusaha melepaskan diri dengan memukul tanganku.
Tidak ada rasa sakit. Yang ada hanya amarah. Aku seperti dirasuki iblis yang penuh dengan kebencian. Ingin membunuh orang-orang yang telah menyiksa dan membunuh adik kesayanganku.
Aku menyeretnya ke arah jendela. Menarik Nike berdiri dengan posisi membelakangi jendela. D*rah mengalir dari kepalanya memenuhi wajahnya.
Puas? Tidak. Hatiku sama sekali belum puas melihat luka yang ia miliki sekarang.
"Maafkan aku, ka. Aku janji tidak akan bilang ke siapapun" mohon Nike sambil berusaha melepaskan cengkaramanku.
Bahkan ia juga memukulku yang ku balas dengan menghajar perutnya hingga ia tertunduk kesakitan. Aku kembali menarik kerah bajunya agar ia berdiri.
"Aku mohon kak. Aku akan melakukan apapun untukmu tapi lepaskan aku"
"Benarkah? Kalau begitu aku ingin kamu memberi salamku untuk adik kesayanganku" ucapku mencekik Nike dengan tenaga yang kuat.
Nike kembali memukulku bahkan mencakar tanganku. Semakin ia melawan semakin tenagaku kuat mencekik lehernya hingga ia kehabisan nafas.
Suara kesakitan sebelum ajalnya menjemput masih terngiang di telingaku. Ini pertama kalinya aku membunuh orang. Anehnya aku tidak merasa panik ataupun sedikit rasa bersalah. Sebaliknya aku makin semangat ingin membunuh mereka semua yang sudah menghilangkan nyawa Kania!
Aku melepaskan cekikan di leher Nike. Tubuhnya jatuh ke lantai. Aku menunduk dan memeriksa jantungnya yang berhenti berdetak. Lalu menghantam kepalanya ke dinding dengan begitu keras hingga darah semakin mengalir deras. Well, sekarang aku semakin yakin ia sudah mati.
Sekarang saatnya membunuh para bajingan. Mereka menyiksa adikku hanya demi tantangan! Harga nyawa adikku pun hanya sebesar 10 juta, huh!
Aku mengambil uang di kantong bajuku dan melemparkan uang 5 ribu ke tubuh Nike. Itu harga untuk nyawanya. Jauh lebih rendah dari harga yang mereka berikan pada adikku.
Kali ini mereka tidak akan bisa kabur.
Satpam akan berpatroli 1 jam lagi. Waktu yang cukup untuk menghabisi mereka
semua.
*******
Komentar
Posting Komentar