Langsung ke konten utama

The Victim - Part 1

 

4 TAHUN YANG LALU

"Apa kamu mau?" tanya laki-laki berpakaian dengan setelan jas membujukku. Setelah aku pulang kerja sambilan ia menungguku dan mengajakku bicara di gang yang diantara gedung tidak jauh dari tempatku bekerja.

"Tapi..." ragu. Aku benar-benar ragu menerima tawarannya. Apalagi kami baru bertemu hari ini di rumah sakit. Mungkin saja dia bercanda.

Tetapi ia memperlihatkan kartu identitasnya dan pekerjaannya karyawan. Ia juga bilang kalau tahu permasalahan keluargaku dari rentenir yang uangnya dipinjam Bapak. Hanya saja aku sangat takut setelah mendengar harga yang harus aku lakukan untuk mendapatkan uang yang sangat aku butuhkan.

"Aku tidak jadi pak. Aku takut kalau polisi benar-benar menangkap aku dan menjadikan aku benaran pembunuhnya"

"Ayo, kamu tidak akan kenapa-kenapa. Setelah penjahat sebenarnya ditangkap, kamu akan dibebaskan" bujuk pak Dimas lagi-lagi membuatku takut.

"Bagaimana kalau foto wajahku dipasang ke media massa? Pasti semua orang mengira aku benar-benar pelakunya"

"Tenang saja. Kamu akan memakai topeng. Tidak akan ada orang yang tahu. Kami menjamin wajah dan identitasmu tidak diketahui oleh orang lain. Kamu aman"

"Tapi... "

"Dua ratus juta, Gis. Kamu bisa membiayai operasi ibu kamu dan membayar hutang ayah kamu"

Aku memang memerlukan uang untuk membayar biaya rumah sakit dan operasi Ibu. Juga membayar hutang Bapak yang terus menerus ditagih oleh rentenir.

"Apa kamu bersedia? Ini penawaran terakhir"

"Iya, aku mau" ucapku meski terdengar ragu. Tetapi hanya ini satu-satunya jalan agar aku mendapatkan uang. Kalau tidak Ibu ditahan di rumah sakit dan dibiarkan tanpa diobati. Lalu Bapak bisa dihajar oleh anak buah rentenir lagi.

"Tapi harus sesuai dengan janji bapak. Aku hanya berpura-pura sebagai penjahat yang kalian tangkap. Tidak boleh seorangpun terutama media massa dan keluarga korban tahu wajahku apalagi sampai tercetak di media massa" aku harus memastikan keamanan dan nama baikku dengan besarnya resiko yang aku terima.

"Baik, tenang saja. Ini uangnya" pak Dimas memberikan uang dalam bungkusan amplop coklat ke arahku. 

"Besok kamu harus ke kantor polisi dan kita bertemu di sana. Kamu juga harus berpura-pura memberikan pernyataan saat diperiksa sesuai dengan teks yang kami buat"

"Baik. Besok aku ke kantor polisi"

"Bagus. Aku pergi dulu.  Aku yakin kamu tidak akan kabur" ucap pak Dimas sebelum pergi meninggalkanku di gang yang sepi diantara dua gedung. 

Aku memasukan amplop yang kuterima ke dalam tasku. Menggenggamnya erat, takut jika ada yang merampokku. 

Hah..  Apa pilihanku benar? Jantungku berdegup kencang.  Rasanya ini salah. Tidak benar.  Tetapi orang miskin sepertiku tidak punya pilihan. Hanya ini satu-satunya cara agar aku bisa menolong kedua orang tuaku. Tidak ada lagi orang yang bisa ku pinjam. Hanya ini saja. 

 

*****


"Kamu darimana?" tanya ibu begitu aku masuk ke dalam kamar yang berbagi dengan banyak orang.

"Habis melunasi tagihan kita, Bu"

"Kamu dapat uang darimana? " tanya Bapak yang duduk disebelah Ibu.

"Tadi ada yang pinjamin Giska uang, Pak"

"Maaf, Ibu selalu merepotkan kalian"

"Kamu jangan bilang begitu. Aku yang tidak bisa buat kalian hidup berkecukupan" Aku tahu bapak sudah cukup berkerja keras untuk kami. 

"Bapak sama Ibu jangan berpikir seperti itu. Yang penting Ibu sembuh"

"Makasih, nak. Ibu janji cepat pulih dan sehat" aku tersenyum.  Akhirnya Ibu bersemangat untuk sembuh.

"Pak, ada yang mau Giska bicarakan" Bapak mengerti maksudku. Beliau berdiri dan berjalan lebih dulu keluar.

"Darimana kamu dapat uang? " tanya Bapak saat kami berada diluar.

"Giska akan cerita tapi jangan disini" koridor ini penuh dengan orang yang lewat.  Aku mengajak Bapak ke bangku taman dekat ruang ibu dirawat.

"Giska tadi memang keliling cari pinjaman. Semuanya menolak. Terus tadi Giska bertemu dengan Bapak-Bapak namanya Pak Dimas"

"Dia tidak menawarkan ganti yang macam-macam, kan?"

"Engga, pak. Pak Dimas itu karyawan di perusahaan besar. Dia nawarin Giska untuk jadi pengganti"

"Pengganti? Maksud kamu apa?"

"Giska berpura-pura sebagai penjahat yang selama ini dicari oleh pihak kepolisian"

"Tidak! Bapak tidak setuju!"

"Tapi Giska sudah terima uangnya,  Pak. Uang itu sudah Giska gunakan untuk bayar biaya operasi dan  rumah sakit Ibu dan hutang Bapak"

"Kenapa kamu tidak beritahu Bapak dulu" Bapak menghela nafas kecewa. "Kita kembalikan uang seadanya.  Kita bilang nanti bayar yang kita gunakan"

"Tidak bisa pak. Pak Dimas itu dekat dengan polisi. Bagaimana kalau nanti kita ditangkap karena menipu"

"Bapak tenang aja. Sisa uangnya Giska akan kasih ke Bapak. Kalau ada apa-apa, tolong bawa Ibu ke tempat yang jauh ya, Pak. Jangan biarkan ibu tahu hal ini"

"Tapi Gis.. "

"Pak, Giska janji setelah polisi menemukan penjahat yang sebenarnya, Giska akan berkumpul dengan Bapak dan Ibu" 

"Baik" Terdengar helaan nafas Bapak. "Maafkan Bapak, Gis. Bapak bukan orang tua yang berguna buat kamu"

"Bapak jangan bicara seperti itu.  Bagaimanapun bagiku Bapak yang terbaik. Pokoknya Bapak tenang saja. Pak Dimas sudah berjanji akan menangkap penjahat yang sebenarnya" 

"Apapun yang terjadi nanti Bapak harus bawa Ibu ke kampung. Jangan khawatirkan Giska" pesanku pada Bapak. Entah kenapa aku merasa tidak enak dengan rencana pak Dimas. 

Yang aku pikirkan agar Bapak dan Ibu selamat jika ada hal yang buruk terjadi. Aku ingin mereka aman sampai penjahat yang sebenarnya tertangkap dan aku bebas.

 

*****


Previous        Index        Next

Komentar

Postingan populer dari blog ini

NEMESIS

RyuKuni Game Chapter 2

Ryukuni Game Chapter 1