Akhirnya aku bisa melihat dunia luar setelah 4 tahun berada di dalam. Akhirnya aku dapat bertemu dengan Bapak dan Ibu. Aku dapat pulang.
Sejak menderita di dalam penjara aku selalu waspada. Aku menatap kesekeliling. Tidak ada
keluarga Permana, kan? Sebaiknya aku
cepat-cepat pergi sebelum mereka tahu dan datang kemari. Aku menutup kepalaku
dengan hoddie yang kupakai. Berjalan
cepat keluar dari kawasan rutan.
Dengan uang yang diberikan Mikela,
Lily, Tania dan uang hasil karya buatan
tanganku, aku bisa menaiki taksi dan melanjutkan hidup. Duduk dalam taksi menuju
ke tempat rumah Bapak Ibu. Aku tidak yakin jika Bapak dan Ibu masih tinggal di
rumah atau tidak. Aku memang meminta Bapak untuk membawa Ibu pergi jauh sebelum
aku melakukan hal yang bodoh itu.
Taksi hanya bisa berhenti di depan gang.
Tidak dapat masuk ke dalam gang yang sempit. Aku menyerahkan lembaran uang di
kantong celanaku dan keluar dari taksi.
Jalan sekitar gang cukup ramai. Aku
berjalan melewati gang dengan kepala menunduk. Takut jika ada orang yang
mengenaliku.
Langkahku berhenti didepan rumah yang
dulunya rumahku. Tersisa puing-puing akibat kebakaran yang sudah termakan waktu. Panik. Takut jika terjadi sesuatu pada Bapak
dan Ibu.
"Permisi." Aku menahan orang yang
lewat. "Kapan rumah ini terbakar?"
"Empat tahun yang lalu. Saat ramai
kasus anaknya membunuh putri keluarga Permana."
"Orang yang tinggal disini dulu apa
tidak apa-apa?"
"Hah! Mereka kabur sebelum orang-orang
membakar rumahnya." jawab wanita itu kesal. Mendengar Bapak dan Ibu selamat
membuatku lega.
"Kamu siapa? Kenapa tanya orang di
rumah ini?" Ibu itu menatapku
dengan tatapan curiga.
"T, tidak. Aku cuma ingin tahu saja."
"Tunggu! " Ia menarik penutup
kepalaku. "Giska." Ia mengenaliku. "Kamu Giska!" Teriaknya
membuat kami jadi pusat perhatian.
"Sudah bebas ya dia sekarang." Salah seorang yang lewat berhenti dan mendekatiku. Mereka mengerumbuniku.
"Dasar pembunuh!" Teriak
tetanggaku yang dulu baik padaku sekarang berbalik membenciku.
"Pergi kamu dari sini!" Usir
salah seorang dari mereka melempariku dengan batu.
"Jangan biarkan pembunuh tinggal
disini!" Teriak mereka lagi terus melempariku batu.
Sakit! Aku harus pergi dari tempat ini! Aku
berusaha pergi dari gerombolan orang yang melempariku batu. Mendorongku sangat
keras hingga terjatuh. Menerima pukulan saat aku lemah. Aku harus berusaha
berdiri dan kabur dari tempat ini.
Aku berdiri dengan menahan pukulan dan
tarikan di rambutku. Melewati mereka yang terus menerus menjadikanku
bulan-bulanan. Di pikiranku hanya kabur dari tempat ini. Menjauh dari
monster-monster yang menyakitiku seperti di penjara.
Aku berlari seperti tangkapan yang dikejar,
diburu. Orang-orang itu lebih mengerikan daripada di penjara. Mereka bahkan
membawa kayu mengejarku. Orang-orang di depanku berusaha untuk menangkapku.
Lari! Hanya itu yang dapat menyelamatkanku.
Di sana! Aku berlari keluar dari gang.
Tetapi dengan banyaknya orang yang mengejarku orang-orang yang ku lewati
mengira aku pencuri dan ikut mengejarku. Aku terus berlari tidak peduli
kemanapun arah yang aku pikirkan hanya menyelamatkan diri. Menerobos lampu lalu
lintas dan hampir ditabrak. Aku tidak peduli dengan itu. Aku harus kabur dan
bersembunyi dari kejaran mereka.
Cukup lama aku berlari. Masuk dalam celah
bangunan toko dan bersembunyi di balik kotak kardus. Kakiku dan tubuhku terasa sangat sakit.
Kepalaku terasa sangat perih. Aku menyentuh luka akibat lemparan batu
dikepalaku.
Darah. Pantas saja terasa sangat sakit. Aku
mengambil baju dari dalam tas kecilku. Mengusap kainnya ke kepalaku.
Sebaiknya aku pergi dari tempat ini. Lebih
cepat lebih baik! Aku harus menemui
Bapak dan Ibu. Mereka pasti ada dikampung
sekarang. Aku harus menemui mereka.
Tekad baru membuatku berdiri dengan kakiku yang letih. Memeriksa keadaan sebelum keluar dari persembunyianku. Aman. Aku memasang penutup kepala untuk menutup wajahku. Keluar dari persembunyian dan berjalan cepat melewati orang-orang.
Bagaimanapun caranya aku harus mendapatkan
taksi. Aku melambaikan tanganku ke arah taksi yang menuju ke arahku. Taksi itu
berhenti. Dengan cepat aku masuk ke dalam. Masih dengan menutup wajahku. Semoga
supir itu tidak mengenaliku.
"Ke stasiun bus, Pak."
"Baik." Supir itu melajukan
taksinya ke arah tujuanku. Diam tanpa bicara meski supir itu terus mengajakku
berbicara selama perjalanan hingga sampai ke stasiun.
"Berapa Pak? "
"90 ribu." Aku menyerahkan uang
lembaran merah.
"Ambil saja kembaliannya." Aku
keluar dari taksi. Memegang erat tas di tanganku dan menunduk dari tatapan
orang sampai ke loket.
"Pak, satu tiket ke Darmajaya."
"Sudah habis."
"Habis?"
"Iya." jawabnya dengan ketus.
Mungkin di loket yang lain. Aku mencoba membeli tiket di loket yang lain
tetap saja tiket ke Desa Darmajaya habis. Bahkan perjalanan berikutnya juga
habis.
"Beli 3 tiket ke Darmajaya" Ucap
orang yang mengantri di belakangku membuat langkahku berhenti.
"Pak, katanya tiket ke Darmajaya
habis. Kenapa Bapak ini dapat tiketnya?" protesku pada penjaga loket.
"Kenapa? Kami tidak menjual tiket pada
pembunuh sepertimu!"
"Pergi dari sini! Apa kamu mau aku
beritahu semua orang disini?" Ancamnya berhasil membuatku ketakutan.
Tidak ada yang dapat kulakukan selain harus
pergi sebelum ia memberitahu orang-orang. Aku berbalik melewati semua orang
keluar dari kawasan stasiun. Jika orang-orang disana tahu, aku bisa dihabisi.
Lebih baik aku menjauh. Tetapi bagaimana caranya aku bisa ke tempat Bapak Ibu?
"Bukannya dia pembunuh Sindy
Permana?" suara dibelakang membuatku waspada.
Aku tidak punya waktu memikirkan pulang ke
tempat Bapak dan Ibu. Aku harus menyelamatkan diriku sebelum mereka menyiksaku
seperti di gang.
*****
Selama 3 hari tinggal di luar penjara
serasa seperti neraka. Tania memang benar. Tidak ada yang bisa menerima seorang
pembunuh diluar sini. Tidak ada yang bisa menerimaku.
Hidup seperti dikejar-kejar oleh
orang-orang yang ingin menghajarku. Menyatakan diri mereka keadilan sebenarnya
akan putusan hukumanku yang hanya mendapat 5 tahun penjara dan diberi grasi.
Memberikan keadilan dengan menghajarku, memburuku. Tidak akan menerima uang
dariku untuk membeli makanan, barang hingga menyewa tempat tinggal.
Yang dapat kulakukan hanya bisa hidup
dijalanan. Tidur dimanapun asal aku merasa aman untuk beristirahat. Makan
makanan sisa dari tempat sampah. Tubuhku terasa sangat letih, lemah dan sakit akibat kurang makan dan udara
yang dingin saat malam pun menusuk luka-luka yang kudapatkan di penjara seakan
pedang tajam menyayatku.
Cara agar aku keluar dari neraka ini hanya
satu. Memberitahu pada semua orang jika aku bukan pelakunya. Mencari bukti dan
menyerahkannya pada Justin.
Tidak! Sebelum aku bertemu dengannya
mungkin saja ia menyuruh orang untuk membunuhku. Aku harus menyerahkan bukti
itu pada polisi. Aku yakin tidak semua
polisi jahat seperti pak Aldi.
Sekarang aku harus mencari wanita itu. Aku
harus bisa menemuinya bagaimanapun caranya. Aku harus mendapatkan pengakuan
jika ia yang membunuh Sindy.
Dengan membawa tas yang selalu genggam
erat, aku keluar dari belakang gedung. Tuhan menjawab doaku. Tepat dihadapanku
wanita yang kucari keluar dari dalam gedung.
"Tunggu! " Aku berlari
menghampirinya. Ia menjauh begitu melihat penampilanku yang mengerikan.
"Menjauh! Dasar pengemis!"
"Aku bukan pengemis. Aku Giska."
Ia mengernyitkan dahinya lalu tersenyum
mengejek seakan ingat padaku. "Penampilan kamu mengerikan sekali."
"Aku ingin menanyakan kenapa kamu
membunuh..."
"Diam!" Bentaknya menghentikan
ucapanku. "Ikut aku!" Ia melangkah lebih dulu ke arah gang sempit
diantara dua gedung toko. Menjauh dari keramaian orang.
Ini Kesempatanku untuk merekam menggunakan
ballpoint dari Justin yang ada di kantong hoddieku. Menghidupkan rekaman dan
bersikap seperti biasa agar wanita ini tidak curiga.
"Kamu butuh berapa?"
"Aku tidak memerlukan uangmu. Aku
hanya ingin tahu kenapa kamu membunuh Sindy Permana?"
"Kenapa kamu ingin tahu?"
"Aku perlu tahu. Aku yang menjalani
hukuman yang harusnya kamu jalani!"
"Dia menyebalkan."
"Apa?"
"Dia merebut laki-laki yang ku
cintai."
"Hanya karena laki-laki?"
"Ia menggoda milikku! Betapa
menyebalkan melihatnya seperti malaikat tapi bersikap murahan!" Ia menatap
sinis padaku
"Apa kamu pernah jatuh cinta tetapi
orang yang kamu sukai di rebut?" aku menggelengkan kepalaku. "Huh!
Orang sepertimu tidak akan mengerti!"
Ia sama psikopatnya dengan Tania. Tidak.
Tania membunuh karena membalaskan dendam kematian adiknya. Tetapi wanita itu
hanya karena laki-laki? Membenci Sindy karena Sindy terkenal ramah dan membantu
banyak orang sehingga ia banyak disukai?
"Kamu gila" Hanya orang gila yang
tidak bisa mengendalikan dirinya untuk membunuh orang lain karena membenci
orang tersebut.
"Gila? Hahahaha" wanita itu
tertawa keras seakan aku mengucapkan hal yang lucu. "Dengar! Harusnya si
Jalang itu menjauhi laki-laki yang kucintai. Lihat yang ia dapatkan. Laki-laki
itu mengkhianatinya"
Sekarang aku ingat. Ada laki-laki bersaksi
jika aku membunuh karena cemburu dengan Sindy. Yang ia maksud bukan aku tetapi wanita ini.
Jika yang ia bilang benar kalau laki-laki itu jatuh cinta dengan Sindy,
laki-laki itu tidak akan membela wanita ini di pengadilan. Ia akan memberitahu
semua orang kalau aku bukan pembunuhnya tetapi wanita ini! Tetapi kenyataannya,
ia malah melindungi pembunuh orang yang ia cintai.
"Kalian mengerikan."
"Tidak. Bukan kami yang mengerikan
tetapi keluarga Permana. Lihat kondisimu sekarang. Kamu pikir orang diluar sana
menyakitimu karena mereka membencimu?"
"Mereka menyakitimu atas perintah
keluarga Permana."
Ya, aku tahu kondisiku sekarang karena
keluarga Permana. Itu karena semua orang mengira aku pembunuhnya. Tetapi jika
keluarga Permana tahu pembunuh sebenarnya, mereka akan membebaskan. Sebaliknya,
wanita ini yang akan menderita sama seperti yang sudah aku lalui.
"Ini. Ambil uang ini!" wanita itu
melemparkan uang ke tubuhku. "Ini uang terakhir yang aku berikan padamu.
Jangan pernah lagi menampakan wajahmu!"
"Aku tidak butuh uangmu! "
"Jangan munafik. Dulu kamu
menerimanya."
"Itu karena aku ditipu oleh Pak Dimas.
Aku tidak tahu..."
"Tidak tahu? Huh! Berpura-pura sebagai
menggantikan penjahat itu suatu kejahatan. Kamu harusnya sudah tahu
konsekuensinya saat tawaran itu diberikan padamu" ucap wanita itu
membuatku kalah. Ia melewatiku tanpa ku kejar.
Aku memang bodoh. Aku memang tidak tahu
akhirnya aku yang dijadikan penjahat. Tetapi bukan berarti aku akan diam saja
melihatnya hidup tenang diluar sana. Ia juga harus merasakan tersiksanya hidup
sepertiku.
*****
Komentar
Posting Komentar