"Kenapa Bapak tidak percaya dengan
saya?" Ucapku putus asa pada polisi dihadapanku. "Saya punya
buktinya." Aku mengambil ballpoint dari dalam hoddieku. Memutar ulang suara
yang kurekam.
"Kamu butuh berapa?" suara wanita
terdengar dari rekaman di ballpoint yang ku genggam. Aku mengamati reaksi pria berseragam dihadapanku. Raut wajahnya
terkejut. Tangannya mengambil hp dan menurun ke bawah meja.
"Aku tidak memerlukan uangmu. Aku
hanya ingin tahu kenapa kamu membunuh Sindy Permana?"
"Kenapa kamu ingin tahu?" aku
mematikan rekaman. Ada yang tidak beres. Aku menatap sekeliling ruangan
ternyata semua polisi di ruangan ini menatapku. Bukan. Fokus pada rekaman yang
ku putar.
Polisi dihadapanku terkejut saat aku
mematikan rekaman. "Kamu bisa memberikan barang bukti itu kepadaku."
Aku tidak mempercayainya. Semua polisi sama
saja! Aku memasukan ballpoint dalam kantong hoddieku. Menyembunyikannya sebelum
diambil. Lalu berdiri menjauh darinya.
"Saya rasa saya salah. Ini hanya
buatan saya." Aku membalikkan tubuhku ke arah pintu. Berpura-pura tidak
mendengar ia memanggilku. Hanya ini kesempatanku kabur sebelum semua
teman-temannya diperintahkan untuk menangkapku.
Aku menarik nafas setelah keluar dari
gedung polisi. Tiba-tiba segerombolan pria berpakaian preman menunjuk ke arahku
ari kejauhan. Lari! Peringatan di kepalaku menyuruhku untuk lari dari mereka.
Aku berlari ke arah toko di dekat gedung
kantor polisi. Masuk ke dalam meski semua orang menatap jijik padaku. Pada
penampilanku yang seperti gelandangan.
"Dimana kamar kecilnya?"
"Itu.. Sebaiknya kamu keluar dari
sini." usir pegawai toko. Aku tidak memperdulikannya. Aku masuk ke arah
belakang toko. Mencari tanda tulisan toilet. Disana. Aku berjalan dengan cepat
meskipun para pegawai menarikku untuk keluar.
Masuk ke dalam dan mengunci pintu.
Ini saatnya aku menyelamatkan satu-satunya
barang bukti yang kumiliki. Aku mengambil plastik yang diberikan oleh Tania
untuk menyimpan barang penting. Plastik waterproof yang ada di tasku.
Memasukkan ballpoint kedalamnya. Lalu memasukannya ke dalam kantong baju yang
kujahit dibalik kain dalam untuk menyimpan uang di balik hoddieku. Setelah ku
rasa aman, aku keluar dari dalam toilet.
"Keluar dari sini!"
"Baik, saya keluar" Aku keluar
dengan didorong oleh pegawai toko.
Sekarang apa yang harus aku lakukan? Mereka
tidak akan menangkapku di keramaian. Aku berjalan membaurkan diri dengan
orang-orang.
Mereka tidak mengejarku. Aku menarik nafas
lega. Hanya sesaat.
"Jalan!" perintah orang
dibelakangku. Menondongkan pisau di punggungku meski banyak orang yang lalu
lalang. Aku mengikutinya menuju mobil yang terpakir.
"Masuk!" perintahnya lagi hingga
aku masuk ke dalam mobil lalu dipukul hingga pingsan.
******
Bukk!! Pukulan keras di wajahku membuatku
terbangun.
"Dimana rekaman itu?"
"Aku tidak tahu maksud kalian."
Ia melemparkan tas ke arahku.
Barang-barangku berserakan ditanah.
"Dimana?!"
"Aku sudah membuangnya." Bohongku
agar ia tidak memeriksa tubuhku.
"Dimana?"
"Di dalam toilet toko."
"Kalau begitu ia sudah tidak
diperlukan" ucap salah seorang dari mereka mengeluarkan senjata api dari
belakangnya. Mengarahkannya padaku.
"Ular." aku menatap ular yang
berada di dahan pohon belakang pria yang menodongkan senjata padaku.
"Aku tidak akan tertipu!"
"Tidak. Ada ular dibelakangmu!"
"Jack, ular!"
Ini kesempatanku kabur. Aku berlari menjauh
dari mereka.
Nafasku terasa semakin mencekik
paru-paruku. Jantungku berdegup kencang. Energiku terkuras hampir tak tersisa.
Lari! Terus berlari! Tidak peduli dengan
kakiku yang terasa perih. Goresan ranting dan duri yang menghujam kulitku.
Darah yang mengalir diluka akibatnya. Yang harus kulakukan terus berlari
sebelum mereka menangkapku. Sebelum mereka membunuhku.
"Disana!" Teriak salah seorang
yang memburuku membuatku mempercepat kakiku untuk berlari kencang melewati
hutan yang lebat.
Dorrr!!!!
Bunyi letusan senjata api menggema. Peluru mengenai batang pohon hampir
mengenaiku.
"Kejar terus!"
Aku berlari tanpa menoleh ke belakang.
Cahaya terang di depan mataku. Apa itu jalan keluar hutan ini? Aku semakin mempercepat
lariku. Tunggu! Itu bukan..
Aku menghentikan kakiku yang hampir
terjatuh, terperosok ke bawah tebing. aku berdiri menatap ke bawah sungai yang
mengalir deras. Bagaimana ini? Aku menoleh ke belakang. Para pemburu itu
semakin mendekat membawa senjata api di tangan mereka.
Tidak ada cara lain. Lompat! Tubuhku
menuruti perintah di kepalaku. Melompat dari atas tebing yang tinggi. Tubuhku
melayang, terasa ringan dan meluncur cepat sesaat sebelum terhempas ke dalam
air yang keruh.
Rasa sakit seperti ditampar menghujamku.
Air masuk ke dalam hidungku membuatku panik dan membuka mata. Bertatapan dengan
sepasang mata buas yang tidak jauh dari tempatku.
Buaya! Apa yang harus aku lakukan? Apa
memang aku ditakdirkan untuk mati?! Tubuhku terpaku tidak bisa bergerak. Seakan
menunggu buaya yang melesat cepat ingin memangsaku. Mungkin ini akhir
segalanya. Aku kalah.
Dorrr!! Suara letusan senjata seperti petir
bersautan. Peluru-peluru menghujam ke arahku. Aku dapat melihat warna air yang
keruh bercampur dengan warna darah.
Agh!! Air semakin masuk ke dalam hidungku.
Rasa sakit menghujam pundakku. Arus sungai yang deras seperti menarikku. Gelap,
sesak akibat air yang masuk ke dalam hidungku membuatku sulit
bernafas.
Seperti ditarik ke dalam dan dilempar kepermukaan
mengikuti arus sungai membawaku menjauh.
Tiba-tiba terasa tarikan kuat di tubuhku
membuatku pasrah. Tubuhku serasa ringan sesaat. Hanya sesaat sebelum rasa sakit
menghujam dadaku. Memompa jantungku.
Tekanan udara masuk dalam rongga mulutku hingga ke paru-paru.
Menyadarkanku untuk memuntahkan air dari dalam mulutku.
Samar-samar aku melihat pria di atasku.
Justin? Apa aku berhalusinasi? Pria itu tidak mungkin dia. Ini pasti
halusinasi. Hah... Aku pasti sudah mati.
******
Komentar
Posting Komentar