Langsung ke konten utama

The Victim - Part 5

 

"Kenapa Bapak tidak percaya dengan saya?" Ucapku putus asa pada polisi dihadapanku. "Saya punya buktinya." Aku mengambil ballpoint dari dalam hoddieku. Memutar ulang suara yang kurekam.

"Kamu butuh berapa?" suara wanita terdengar dari rekaman di ballpoint yang ku genggam. Aku mengamati reaksi pria berseragam dihadapanku. Raut wajahnya terkejut. Tangannya mengambil hp dan menurun ke bawah meja.

"Aku tidak memerlukan uangmu. Aku hanya ingin tahu kenapa kamu membunuh Sindy Permana?"

"Kenapa kamu ingin tahu?" aku mematikan rekaman. Ada yang tidak beres. Aku menatap sekeliling ruangan ternyata semua polisi di ruangan ini menatapku. Bukan. Fokus pada rekaman yang ku putar.

Polisi dihadapanku terkejut saat aku mematikan rekaman. "Kamu bisa memberikan barang bukti itu kepadaku."

Aku tidak mempercayainya. Semua polisi sama saja! Aku memasukan ballpoint dalam kantong hoddieku. Menyembunyikannya sebelum diambil. Lalu berdiri menjauh darinya.

"Saya rasa saya salah. Ini hanya buatan saya." Aku membalikkan tubuhku ke arah pintu. Berpura-pura tidak mendengar ia memanggilku. Hanya ini kesempatanku kabur sebelum semua teman-temannya diperintahkan untuk menangkapku. 

Aku menarik nafas setelah keluar dari gedung polisi. Tiba-tiba segerombolan pria berpakaian preman menunjuk ke arahku ari kejauhan. Lari! Peringatan di kepalaku menyuruhku untuk lari dari mereka.

Aku berlari ke arah toko di dekat gedung kantor polisi. Masuk ke dalam meski semua orang menatap jijik padaku. Pada penampilanku yang seperti gelandangan. 

"Dimana kamar kecilnya?"

"Itu.. Sebaiknya kamu keluar dari sini." usir pegawai toko. Aku tidak memperdulikannya. Aku masuk ke arah belakang toko. Mencari tanda tulisan toilet. Disana. Aku berjalan dengan cepat meskipun para pegawai menarikku untuk keluar.  Masuk ke dalam dan mengunci pintu. 

Ini saatnya aku menyelamatkan satu-satunya barang bukti yang kumiliki. Aku mengambil plastik yang diberikan oleh Tania untuk menyimpan barang penting. Plastik waterproof yang ada di tasku. Memasukkan ballpoint kedalamnya. Lalu memasukannya ke dalam kantong baju yang kujahit dibalik kain dalam untuk menyimpan uang di balik hoddieku. Setelah ku rasa aman, aku keluar dari dalam toilet.

"Keluar dari sini!"

"Baik, saya keluar" Aku keluar dengan didorong oleh pegawai toko.

Sekarang apa yang harus aku lakukan? Mereka tidak akan menangkapku di keramaian. Aku berjalan membaurkan diri dengan orang-orang.

Mereka tidak mengejarku. Aku menarik nafas lega. Hanya sesaat.

"Jalan!" perintah orang dibelakangku. Menondongkan pisau di punggungku meski banyak orang yang lalu lalang. Aku mengikutinya menuju mobil yang terpakir. 

"Masuk!" perintahnya lagi hingga aku masuk ke dalam mobil lalu dipukul hingga pingsan. 

 

******

 

Bukk!! Pukulan keras di wajahku membuatku terbangun. 

"Dimana rekaman itu?"

"Aku tidak tahu maksud kalian."

Ia melemparkan tas ke arahku. Barang-barangku berserakan ditanah. 

"Dimana?!"

"Aku sudah membuangnya." Bohongku agar ia tidak memeriksa tubuhku.

"Dimana?"

"Di dalam toilet toko."

"Kalau begitu ia sudah tidak diperlukan" ucap salah seorang dari mereka mengeluarkan senjata api dari belakangnya. Mengarahkannya padaku.

"Ular." aku menatap ular yang berada di dahan pohon belakang pria yang menodongkan senjata padaku.

"Aku tidak akan tertipu!"

"Tidak. Ada ular dibelakangmu!"

"Jack, ular!"

Ini kesempatanku kabur. Aku berlari menjauh dari mereka. 

Nafasku terasa semakin mencekik paru-paruku. Jantungku berdegup kencang. Energiku terkuras hampir tak tersisa.

Lari! Terus berlari! Tidak peduli dengan kakiku yang terasa perih. Goresan ranting dan duri yang menghujam kulitku. Darah yang mengalir diluka akibatnya. Yang harus kulakukan terus berlari sebelum mereka menangkapku. Sebelum mereka membunuhku.

"Disana!" Teriak salah seorang yang memburuku membuatku mempercepat kakiku untuk berlari kencang melewati hutan yang lebat.

Dorrr!!!!  Bunyi letusan senjata api menggema. Peluru mengenai batang pohon hampir mengenaiku.

"Kejar terus!"

Aku berlari tanpa menoleh ke belakang. Cahaya terang di depan mataku. Apa itu jalan keluar hutan ini? Aku semakin mempercepat lariku. Tunggu! Itu bukan..

Aku menghentikan kakiku yang hampir terjatuh, terperosok ke bawah tebing. aku berdiri menatap ke bawah sungai yang mengalir deras. Bagaimana ini? Aku menoleh ke belakang. Para pemburu itu semakin mendekat membawa senjata api di tangan mereka. 

Tidak ada cara lain. Lompat! Tubuhku menuruti perintah di kepalaku. Melompat dari atas tebing yang tinggi. Tubuhku melayang, terasa ringan dan meluncur cepat sesaat sebelum terhempas ke dalam air yang keruh. 

Rasa sakit seperti ditampar menghujamku. Air masuk ke dalam hidungku membuatku panik dan membuka mata. Bertatapan dengan sepasang mata buas yang tidak jauh dari tempatku. 

Buaya! Apa yang harus aku lakukan? Apa memang aku ditakdirkan untuk mati?! Tubuhku terpaku tidak bisa bergerak. Seakan menunggu buaya yang melesat cepat ingin memangsaku. Mungkin ini akhir segalanya. Aku kalah.

Dorrr!! Suara letusan senjata seperti petir bersautan. Peluru-peluru menghujam ke arahku. Aku dapat melihat warna air yang keruh bercampur dengan warna darah.

Agh!! Air semakin masuk ke dalam hidungku. Rasa sakit menghujam pundakku. Arus sungai yang deras seperti menarikku.  Gelap,  sesak akibat air yang masuk ke dalam hidungku membuatku sulit bernafas. 

Seperti ditarik ke dalam dan dilempar kepermukaan mengikuti arus sungai membawaku menjauh. 

Tiba-tiba terasa tarikan kuat di tubuhku membuatku pasrah. Tubuhku serasa ringan sesaat. Hanya sesaat sebelum rasa sakit menghujam dadaku. Memompa jantungku.  Tekanan udara masuk dalam rongga mulutku hingga ke paru-paru. Menyadarkanku untuk memuntahkan air dari dalam mulutku. 

Samar-samar aku melihat pria di atasku. Justin? Apa aku berhalusinasi? Pria itu tidak mungkin dia. Ini pasti halusinasi. Hah...  Aku pasti sudah mati.

 

******


Previous         Index        Next        

Komentar

Postingan populer dari blog ini

NEMESIS

RyuKuni Game Chapter 2

Ryukuni Game Chapter 1