Sinar terang terasa di kedua kelopak
mataku. Menyadarkanku untuk bangun. Dengan pelan aku membuka kedua kelopak
mataku. Mengerjap saat sinar begitu
menyilaukan. Aku masih hidup?
Pertanyaan sama yang selalu ku pastikan
dalam benakku setiap kali bangun setelah aku hampir mati.
"Akhirnya kamu sudah sadar." Suara
pria berdiri di samping tempat tidurku terdengar samar-samar.
Siapa? Aku menoleh ke arah suara itu
berasal. Justin? Kali ini aku mengerjap mataku dengan cepat. Memfokuskan penglihatanku. Itu benar-benar
dia. Dia ada disini!
Apa yang harus aku lakukan?! Aku tidak
dapat menghindar darinya.
"Ada hal yang ingin ku bicarakan.
Tetapi aku akan menunggu sampai kamu benar-benar pulih" Ucapnya dengan
nada dingin sebelum beranjak pergi meninggalkanku.
Apa yang ingin ia bicarakan? Apa soal
pembunuh adiknya? Kalau benar itu artinya ia percaya padaku. Ia bisa
membersihkan nama baikku.
"Tunggu." Aku menghentikannya yang
sudah berdiri di depan pintu yang dibuka oleh laki-laki diluar.
"Bisa kita bicara sekarang? Aku sudah
merasa lebih baik" Cepat atau lambat aku memang harus bicara padanya.
Meminta tolong meskipun keluarga Permana berbuat kejam padaku. Tetapi itu
karena mereka mengira aku pembunuh adiknya.
Setelah mereka tahu, aku yakin mereka akan
menghentikan orang-orang untuk menyiksaku.
Membersihkan nama baikku sehingga aku bisa hidup layaknya orang umumnya.
Lalu bertemu dan berkumpul kembali dengan orang tuaku.
Justin berjalan mendekatiku dan duduk di
sofa yang berseberangan dengan ujung tempat tidur. Aku berusaha duduk di atas
tempat tidur dengan perlahan. Aku tidak tahu harus mulai darimana bicara
dengannya. Auranya sangat menakutkan. Orang sepertiku terlihat sangat rendah
dihadapannya.
Kenapa ia tidak bicara? Apa ia menungguku
mulai lebih dulu? Aku mengangkat wajahku bertatapan dengannya yang tidak
melepaskan pandangan dariku.
"Ballpoint itu. Apa ada ditangan
anda?" Tanyaku sambil mengatasi rasa gugup.
"Ya." jawabnya singkat
"Anda sudah mendengarnya?"
"Ya, aku sudah mendengarnya" Jawabnya tanpa ekspresi. "Siapa pembunuh sebenarnya?"
"Aku tidak tahu siapa dia tetapi aku
ingat wajahnya. Ia cantik, kulitnya putih, rambutnya ikal dicat warna coklat
muda. Lalu... "
"Ada banyak ciri-ciri perempuan
seperti itu." Potongnya membuatku terdiam.
"Bagaimana kalau foto. Aku yakin ada
fotonya bersama almarhumah Sindy. Ia bilang ia menyukai laki-laki yang dekat
dengan Sindy" Benar! Laki-laki itu juga tahu siapa pembunuhnya.
"Laki-laki itu pernah bersaksi di
pengadilan waktu itu."
"Ia sudah meninggal akibat
kecelakaan" Jawab Justin berhasil membuat harapanku hilang.
"Sudah meninggal? Kapan?"
"Di hari saat kamu diculik."
Kenapa sangat kebetulan ia meninggal dengan
hari dimana aku ingin dibunuh waktu itu? Aku ragu jika laki-laki itu meninggal
karena kecelakaan. Wanita itu bisa saja menyingkirkannya sama seperti yang ia
lakukan padaku. Ia ingin menghilangkan bukti dengan cara membungkam kami selamanya.
Anehnya kenapa ia berani menemuiku dan mengungkapkan jika ia pembunuhnya? Kenapa ia tidak membukamku setelah ia memberitahuku?
"Besok jika kamu sudah bisa jalan aku
ingin kamu menunjuk foto wanita itu." Ucapan Justin berhasil
menghidupkan harapanku yang baru. Ia menerima usulanku.
"Baik." Kali ini aku akan memberi
tahu keluarga Sindy siapa pembunuh sebenarnya.
Justin bangkit berdiri dari sofa tanpa
melepas pandangan matanya dariku. Ia membuatku kembali gugup. Menunduk,
menghindari tatapan matanya.
"Sampai bertemu nanti, Giska" Ucapannya mengingatkanku saat di penjara. Trauma walau hanya mendengar
suaranya.
Walaupun kali ini situasinya berbeda. Ia
tidak menganggapku seorang pembunuh yang sangat dibencinya. Tetapi aku masih
merasakan kemarahannya padaku. Merasakan jika ia jijik pada orang rendah
sepertiku yang ingin menggantikan kejahatan orang lain hanya demi uang.
******
"Mari, anda sudah ditunggu tuan
Gideon." Wanita yang menolongku ditugaskan untuk menjaga sekaligus
mengawasiku.
"Baik." Aku sudah siap sejak ia
memberitahuku jika Gideon Permana, ayah
Justin ingin bertemu denganku di ruang kerja.
Aku baru tahu jika tempat ini rumah Justin.
Tempatku berlindung sekaligus diawasi ketat setelah percobaan pembunuhan di
rumah sakit. Selama ini aku tidur di rumahnya yang megah bak istana bagi orang
miskin sepertiku.
Aku mengikuti wanita itu dengan perasaan
gugup dan takut. Bagaimana jika mereka menyakitiku meski mereka tahu aku bukan
pembunuhnya. A, apa yang harus aku lakukan?
Salah seorang pengawal berjas hitam
menghentikan langkah kami. "San, kamu diminta menemani Bu Vivian
dibawah."
"Tetapi aku harus mengantarkan Giska menemui
Pak Gideon."
"Biar aku yang mengantarkannya."
"Baiklah." Wanita itu berjalan lebih dahulu meninggalkan aku dengan pengawal yang baru aku lihat selama ada di tempat ini.
"Silahkan." Laki-laki itu
memintaku jalan disampingnya.
"Ada salam dari orang tuamu" Aku
menghentikan langkahku. "Pastikan kamu menyelamatkan mereka"
"Apa maksud kamu?"
"Terus jalan" perintah laki-laki
itu tanpa menoleh kearahku.
"Kamu akan tahu nanti. Jika kamu
menunjuknya maka orang tuamu hanya tinggal nama."
"Aku tidak percaya!" Bapak ibu
pasti dalam keadaan aman. Ia hanya menakutiku.
Tiba-tiba ia mendorongku ke sudut dan
memberikan foto yang dipotong berukuran kecil. Fotoku waktu masih kecil dengan
Bapak Ibu. Foto ini selalu disimpan Bapak di dalam dompet dan selalu dibawa
kemanapun.
"Simpan foto itu sebelum orang lain
curiga." Perintah pengawal yang ku turuti dengan menyimpan foto di dalam
kantongku.
"Sekarang jalan!"
Bapak dan ibu berada dalam bahaya! Aku
tidak bisa membiarkan bapak dan ibu celaka. Aku harus melindungi mereka.
Kami berhenti didepan pintu yang dijaga
oleh dua pria. Salah seorangnya membuka pintu mempersilahkan aku masuk ke dalam.
Pria tadi ikut masuk. Ia pasti mengawasiku.
Semua orang didalam menoleh ke arahku.
Seakan ingin menerkamku. Raut wajah mereka yang dingin membuatku tidak nyaman
sekaligus ketakutan.
"Duduk kemari." Perintah Gideon
permana menunjuk sofa di sebelah saudari perempuan Justin, Gwen.
Aku jalan dengan gugup ke sofa dan duduk di
ujung menjauh dari saudari Justin. Sedangkan Justin duduk diseberangku. Aku
menunduk menatap foto-foto disusun memenuhi atas meja dihadapanku.
"Justin bilang kamu bisa menunjukan
pembunuh yang sebenarnya dengan melihat fotonya"
"Iya"
"Siapa diantara mereka
pembunuhnya?"
Aku melirik pria yang menjadi mata-mata
wanita jahat itu. Bagaimana sekarang? Apa aku pura-pura tidak tahu saja?
Aku menatap satu per satu foto perempuan.
Tidak ada. Aku menggelengkan kepalaku. "Tidak ada di antara foto ini."
"Ganti foto selanjutnya." Perintah
Gideon Permana pada karyawannya yang langsung menyingkirkan foto-foto di atas
meja dan menyusun foto di tangan mereka.
Tatapanku berhenti pada salah satu foto yang
disusun. Foto Sindy permana dengan seluruh teman-temannya di kelas. Fokus pada
wajah mirip pembunuh Sindy. Tetapi wajah yang di foto tidak secantik pembunuh
Sindy.
"Apa kamu menemukannya?" tanya
Justin mengejutkanku.
"T, tidak." Aku berpura-pura
menatap semua foto yang ada sudah disusun di atas meja.
Tatapanku berhenti pada foto wanita jahat
yang difoto di sebuah pesta. Kali ini aku dapat melihat wajah yang sama hanya
saja wajah itu terlihat lebih baik dari foto sebelumnya. Jadi wanita itu
operasi wajahnya agar terlihat lebih cantik?
Aku mengalihkan pandanganku sebelum ada
yang mencurigaiku. "Tidak ada." Bohongku tanpa berani menatap Gideon.
Foto-foto itu kembali dibersihkan dan
berganti dengan foto-foto yang lain. Kali ini pun aku menemukan foto wanita
jahat itu bersama dengan Sindy dan pacarnya. Mereka dekat. Wanita itu bisa jadi
teman dekat Sindy.
"Apa ia ada difoto ini?" tanya
Gideon dengan nada gusar.
"Tidak, Pak. Tidak ada."
Gideon menarik nafas dengan kasar lalu
menghembuskannya. "Besok akan ada diadakan pesta. Semua yang kenal dan
dekat dengan Sindy dan Vino akan dihadir. Aku ingin kamu mengenali mereka"
"Baik."
Tuan Gideon memberi tanda agar aku pergi
dari hadapan mereka. Dengan senang hati aku pergi dari ruang ini. Bahkan jika
pergi dari tempat ini. Yang terpenting aku harus menyelamatkan Bapak dan Ibu dari wanita itu.
******
Komentar
Posting Komentar