Kami berdiri di depan pintu ruang inap Laura yang bersebelahan dengan ruangan gue. Setelah diperiksa dan dibalut kembali, gue ga diperbolehkan mami menemui Laura. Baru hari ini gue diperbolehkan dengan syarat mami juga ikut menjenguk Laura.
Padahal ada yang ingin gue bicarakan dengan Laura. Hanya berdua. Tetapi kehadiran mami bikin gue mengurungkannya sampai ada waktu kami dapat berbicara hanya berdua.
Hans mengetuk pintu yang langsung dibuka oleh Salsa, salah seorang asisten Laura yang ga ikut Laura syuting. Yang gue dengar, ia akan menyusul belakangan bersama dua videografer untuk merekam vlog Laura. Tetapi semua rencana batal karena wanita yang terbaring di dalam sana.
"Silakan masuk,"
"Terima kasih." Hans mendorong kursi roda masuk ke dalam ruangan.
"Bu Bianca, Hans, silakan duduk." Mami Laura menyambut kami. Mami Laura kenal dengan Hans setelah Hans mengabarkan kondisi Laura dan membantu mengurus administrasi Laura.
"Maaf, saya belum menjenguk Tory lagi. Papi Laura dalam perjalanan kemari. Setelah papi Laura datang, rencananya kami akan menjenguk dan mengucapkan terima kasih kami ke Tory,"
"Ga apa-apa tante. Saya sudah menerima niat dari tante," Mami Laura mengirimkan karangan bunga, keranjang buah, dan suplemen tambahan buat gue saat gue tidur.
"Bagaimana keadaan Laura?" Tanya mami sambil menoleh ke Laura yang tersenyum ke arah kami. Lalu mengernyit melihat banyak orang di mengerumbuni Laura.
Kamar Laura ga hanya ada maminya dan Salsa. Ia dikunjungi oleh teman-teman sesama artis. Selain itu ditambah asisten artis yang ikut sambil merekam Laura dan sebagian orang diam-diam merekam ke arah kami.
"Keadaan Laura sudah lebih baik. Tetapi sama seperti Tory, Laura harus menggunakan kursi roda sampai kakinya yang terkilir dan terluka sembuh."
"Saya benar-benar berterima kasih dengan Tory. Kalau tidak ada Tory, Laura dan teman-temannya sudah terbawa arus ombak."
Mami ingin berbicara lalu bungkam. Begitu mendengar kalau gue terluka karena menolong Laura, mami marah besar. Mami terus memarahi gue sampai gue tertidur karena kelelahan.
Mami bahkan berniat buat memarahi Laura. Tapi melihat reaksi mami sekarang, gue rasa mami mengurungkan niatnya.
"Bu Bianca, saya juga ingin berterima kasih karena Ibu mengirim Laura ke rumah sakit ini."
"Sama-sama, Bu Arlin."
Mami dan mami Laura ngobrol lama. Gue ga nyangka kalau mami yang sangat pemilih berteman, bisa bicara banyak ke mami Laura.
Gue hanya bisa diam duduk di kursi roda. Mendengar obrolan mereka. Ga ingin mendekati Laura yang terus melirik ke arah gue. Selama semua temannya masih ada, gue ga mau dekat dengannya. Gue ga mau ditanya-tanya oleh mereka apalagi direkam untuk konsumsi publik.
"Laura, kita pamit dulu. Besok kita datang lagi." Ucap salah seorang teman Laura yang sepertinya tau kalau Laura ingin mereka pergi.
"Makasih lo semua sudah jenguk gue,"
"Sama-sama, Laura,"
"Cepat sembuh, sayang." Teman-teman Laura berpamitan satu per satu ke Laura.
"Tante, Pak Tory, kami pamit pulang dulu." Ucap salah satu teman Laura pada kami diikuti teman-temannya yang lain.
"Iya, makasih sudah datang," Mami Laura berdiri sedangkan mami hanya tersenyum sambil mengangguk.
Mami Laura mengantar tamu Laura sampai keluar pintu. Lalu kembali duduk di sebelah mami.
"Apa boleh saya bicara berdua dengan Laura?" Tanya gue setelah semua tamu Laura pulang.
"Boleh."
"Mari, bu Arlin. Sekalian kita makan siang" Ajak mami yang disetujui mami Laura.
Mami berdiri dan berjalan mendekati Laura.
"Saya sudah reservasi ke klinik langganan saya untuk menghilangkan bekas jahit luka kamu."
"Makasih, tante."
"Hm. Cepat sembuh."
"Sekali lagi makasih, tante." Mami hanya mengangguk tanpa membalas Laura.
"Tory, saya titip Laura, ya"
"Iya, tante."
Setelah semua pergi meninggalkan kami berdua di dalam ruangan, gue menatap Laura tajam.
"Lo marah?"
Ya, gue sangat marah besar! Sejak mendengar semua dari Hans, tentu aja gue marah sudah dipermainkannya! Gue masuk dalam rencananya!
Hans mencari tahu dan mendapat keterangan salah seorang staf. Setelah syuting selesai, di saat semua orang sibuk membereskan peralatan karena air naik, Paris mendorong Laura dari belakang hingga jatuh.
Orang-orang yang melihatnya pasti berpikir kalau Paris salah. Tetapi berbeda jika asisten Laura, Mita merekamnya dari kejauhan di tangga. Mendapatkan bukti kejahatan Paris yang dapat disebar kapan saja.
Video itu berhasil Hans salin dari ponsel Mita. Tentu aja dengan sedikit tekanan, Mita menyetujuinya.
Setelah melihat videonya, sangat Jelas wajah Paris dan Laura di rekaman. Laura mengatakan sesuatu pada Paris lalu mengangguk seakan memberi tanda kalau dia duluan. Lalu Paris yang terdiam dan menatap tajam Laura. Mengikuti Laura dari belakang.
Ekspresi marahnya dapat terlihat di rekaman sebelum ia mendorong Laura. Laura yang terjatuh di air yang pasang, menarik perhatian semua orang. Rekaman berhenti saat gue berlari ke bawah dan mengendong Laura. Sebelum ombak menghantam kami.
"Lo hebat bisa bikin gue masuk ke dalam rencana lo!"
"Maaf. Gue tau gue salah." Mita pasti memberitahu Laura kalau ia memberikan video ke Hans.
"Gue hanya ingin membalas Paris yang bikin diperlakukan kasar dan ga adil. Gue ga ingin diinjak seenaknya oleh orang lain."
"Ini bukan kali pertama lo melakukannya? Lo balas semua orang menargetkan lo?"
"Ya, kalau gue ga balas mereka, karir gue sudah tamat dari dulu. Nama gue akan rusak dengan berita bohong terus menerus mereka sebar untuk menghancurkan gue."
"Dunia hiburan sangat mengerikan. Gue ga punya backing. Kalau gue ga punya bukti hitam orang-orang yang menargetkan gue, gue hancur dari dulu."
"Tapi Lo tau kali ini yang lo lakuin berbahaya?!" Ia hampir mati! Apa itu sepadan?!
"Ya, gue tau. Tapi gue ga menyangka sampai bikin kaki gue terkilir dan ombak besar datang."
Laura menatap gue dengan tatapan bersalah. "Satu-satunya hal yang gue sesali, gue sudah bikin lo terluka karena gue."
"Lo bisa pakai rencana yang lain! Lo bisa gunain gue!"
"Tapi sampai kapan gue bisa gunain lo? Kalau suatu saat nanti lo mengatakan ke semua orang kita putus, Paris akan menggunakan orang-orang untuk mempersulit gue lagi."
Ucapan Laura menghantam gue. Yang diucapkannya benar. Ya, kami cuma berpura-pura pacaran. Gue ga bisa melindungi dia selamanya.
"Laura, untuk sementara kita ga usah bertemu."
"Apa semua berakhir?"
"Ga." Gue menghela nafas. "Nanti gue kabari lo." Gue memundurkan kursi roda dan memutarnya ke arah pintu.
"Tory, gue benar-benar minta maaf."
Gue berhenti sesaat sebelum kembali mendorong kursi roda menuju pintu. "Hans," Gue memanggil Hans di balik pintu.
Hans yang siaga di depan pintu, masuk ke dalam dan mendorong kursi roda keluar ruangan. Mendorong menuju ruang gue di sebelah. Salsa yang juga berjaga di luar masuk ke dalam ruangan dan menutup pintu di belakang kami.
Begitu kami masuk ke dalam ruangan, gue melihat kakak kandung gue, Marvin yang jarang gue lihat. Ia tinggal bersama keluarga kecilnya di kampung halaman kami.
Lucunya, sejak kecil gue besar di kampung halaman kami sedangkan Ka Marvin ikut mami papi. Sekarang, sebaliknya. Gue malah tinggal di kota ini bersama mami papi. Lalu ka Marvin tinggal dengan kakek nenek sambil menjalankan perusahaan kami di sana.
"Gimana kabar lo?" Tanya ka Marvin sambil menatap perban yang membalut tangan dan kaki gue.
"Masih sakit." Balas gue sambil meminta Hans mendorong kursi roda mendekati ka Marvin. "Kapan kakak datang?"
"Baru aja. Livia dan anak-anak ke rumah dulu. Nanti mereka datang jengukin lo."
Mendengar dua keponakan gue juga datang bikin mood gue membaik. "Gue ga sabar pengen ketemu dengan Vernon dan Zeline ." Gue kangen dengan mereka.
"Gimana kabar kakek nenek?"
"Baik. Mereka khawatir dengan keadaan lo. Cuma, nenek kaget begitu melihat potongan video lo yang menyelamatkan Laura."
"Tapi nenek ga apa-apa, kan? Gimana dengan jantungnya?"
"Tenang. Jantung nenek baik-baik aja. Waktu nenek nonton, nenek sudah minum obat," Jawaban ka Marvin bikin gue tenang. Gue sangat bersalah kalau penyakit jantung nenek kambuh.
"Mereka mau datang, tapi papi minta mereka tunggu papi berangkat sama-sama." Lanjut ka Marvin tentu kabar yang menggembirakan buat gue. Bagi gue kakek dan nenek seperti orang tua kedua yang mengasuh dan membesarkan gue dari kecil.
"Dari mana nenek nonton video gue selamatin Laura?"
"Dari TV sama sosial media. Kakek dan nenek terus memantau berita lo dengan Laura."
"Apa videonya ada?" Tanya gue ke Hans.
"Ada, Pak." Ga lama, Hans menyerahkan ponsel ke tangan gue.
Video gue mengendong Laura dan berlari ke belakang batu karang. Melindungi Laura dengan memegang erat celah batu bersama dua asisten Laura yang di samping kami.
Lalu ombak besar datang. Hampir menghanyutkan dua asisten Laura jika engga Laura memegang Devi. Rekaman video berhenti saat gue mengendong kembali Laura ke atas tangga dengan darah mengalir deras.
"Lo lihat komentarnya,"
Komentar orang-orang memuji gue yang menyelamatkan Laura. Berharap gue menjadi pacar mereka. Mendoakan gue selalu bersama Laura sampai menikah. Lalu memuji Laura yang menyelamatkan asistennya. Terakhir mempertanyakan kenapa Laura ga lari sendiri dan harus di gendong.
Bukan hanya komentar positif, tetapi ada juga komentar negatif yang mengumpat kami bermain di air pasang tanpa tau kalau saat itu Laura sedang kerja. Bersyukur musibah yang kami alami dengan asumsi mereka sendiri.
Walaupun ga semua berkomentar negatif, lebih banyak komentar positif. Mendoakan kami cepat sembuh.
"Bagaimana pendapat anda setelah dianggap sebagai hero untuk kekasih anda?" Tanya ka Marvin sengaja menggoda gue dengan bergaya seperti reporter.
"Biasa." Jawab gue dengan nada datar. Mengembalikan ponsel ke Hans.
"Lo ga asik!"
"Kenapa lo ga cobain sendiri jadi hero buat istri lo?"
"Tanpa luka kayak lo, gue sudah jadi hero buat istri dan anak-anak gue!"
"Sekarang pertanyaan kedua, Kapan anda dan Laura menikah?"
Gue menatap tajam ka Marvin.
"Lho, kenapa? Lo kan sampai sebegitu effortnya nyelamatin Laura. Itu artinya lo cinta dia"
Gue cinta Laura? Hah!
"Gue mau istirahat." Elak gue lalu memberi tanda pada Hans untuk mendekatkan kursi roda ke ranjang. Membantu gue berbaring.
"Oma mau bertemu dengan Laura. Oma mau lo ajak Laura makan malam di rumah kalau kalian keluar dari rumah sakit."
"Oke, nanti kalau kami sudah keluar, gue akan ajak Laura ke rumah."
"Hahaha... Gue ga sabar lo akhirnya menikah. Lo kelamaan gonta ganti pacar, akhirnya bertemu dengan dengan jodoh lo."
Gue hanya mengangguk. Seakan setuju dengan ucapan ka Marvin. Kalau biasanya gue semangat balik menggoda ka Marvin, kali ini engga.
Gue kecewa dan marah pada Laura. Gue pikir ia jadi lebih baik. Tetapi gue salah. Ia semakin menjadi. Bahkan mencelakakan dirinya sendiri.
Gue kecewa dan marah bukan hanya karena masuk dalam rencananya, tetapi mengingat kejadian mengerikan yang hampir membunuhnya. Masih ingat jantung gue seperti berhenti berdetak saat melihat ombak besar dari kejauhan. Ingatan ia bisa saja terbawa arus jika beberapa detik saja terlambat.
Gue masih mengingat ketakutan yang gue rasakan saat ombak menerjang kami. Ketakutan kalah dari arus yang kuat dan ga bisa melindunginya. Karena itu gue marah padanya. Kecewa.
Sekarang video peristiwa itu menyebar luas dan menjadi konsumsi publik. Jika ia menggunakan peristiwa itu untuk menaikkan popularitasnya, gue akan memberhentikan kerja sama kami. Hubungan kami akan balik seperti semula. Gue ga akan mau bertemu dengannya sampai kapanpun!
*******
Komentar
Posting Komentar