Langsung ke konten utama

Tory - Part 11

 Mami duduk di seberang menatap gue ragu. Seakan ada yang ingin mami bicarakan tetapi menutup mulut rapat.

"Mami mau bicara apa?" Tanya gue melihat tingkah mami malah buat gue makin penasaran tujuannya datang ke perusahaan menemui gue.

"Ini soal Paris dan Laura." Jawab mami yang langsung bikin mood gue jelek begitu dengar nama Paris.

"Ada apa dengan mereka?"

"Apa Laura ga cerita sama kamu?

"Ga, mi"

Setelah gue bertengkar dengan Laura dua minggu yang lalu, gue ga pernah bertemu Laura ataupun menghubunginya langsung. Terakhir saat gue meminta Thesa, salah seorang sekretaris gue mengirimkan buket bunga ke Laura yang keluar dari rumah sakit 2 minggu yang lalu.

Walaupun gue kecewa dengan Laura dan sempat berniat untuk mengakhiri kerja sama kami, akan tetapi gue mengurungkan niat gue. Itu karena setelah mendengar laporan dari Hans kalau Laura yang ga mau mengambil kesempatan untuk menaikan popularitasnya. Ia menghindari wartawan dan menolak tawaran masuk ke acara TV untuk membahas kejadian waktu itu.

Entah ia benar-benar ga ingin mengambil kesempatan atau untuk meredakan amarah gue, tetapi tindakannya berhasil. Kami masih meneruskan hubungan kami, Hanya saja pikiran gue fokus pada pekerjaan.

Seminggu ini gue harus mengurus perusahaan yang terus ditargetkan oleh perusahaan lain yang mengambil kesempatan saat gue dirawat di rumah sakit. Ga ada waktu memikirkan hubungan gue dengan Laura apalagi kesehatan gue yang hingga sekarang masih menggunakan kursi roda karena luka di kaki gue masih belum sembuh.

"Mami sudah lihat rekaman kejadian sebelum kalian terluka."

Rekaman? Apa asisten Laura mengirimkannya ke mami?

"Rekaman apa, mi?" Tanya gue pura-pura ga tahu.

"Rekaman Paris mendorong Laura." Mami meminta asistennya memberikan tablet ke gue. Gue memutar video yang ada di layar.

Video itu merekam ke arah sisi lain pantai. Terdengar suara wanita memberitahu kalau angin sangat kencang dan air mulai naik. Wanita itu berteriak memberitahu kesekelilingnya untuk cepat naik ke atas. Lalu kamera mengarah ke Laura yang berjalan menuju ke arah kamera video dengan Paris di belakangnya. Kamera itu menangkap Paris yang mendorong Laura hingga terjatuh dan tak lama sosok gue tertangkap kamera berlari menuju Laura.

Gue menjeda video karena gue tahu apa yang terjadi setelahnya. Meletakan tablet mami di atas meja.

"Dari mana mami dapat rekaman ini?"

"Paris memberikan video ini ke oma."

Mendengar jawaban mami bikin gue semakin badmood. Paris tahu kalau oma sangat menyayanginya lebih dari siapapun di keluarga kami karena oma dekat dengan Paris dari Paris kecil. Menganggapnya cucu perempuan yang ga oma miliki. Bahkan oma sangat bersikeras gue harus menikahi Paris.

Oleh karena itu, gue selalu mencari alasan menolak ajakan oma untuk makan malam bersama dengan Laura. Ajakannya sangat mencurigakan ingin bertemu dengan Laura. Yang gue khawatirkan oma akan membuat Laura ga nyaman saat bertemu dengannya. Menargetkan Laura apabila oma ga suka dengannya.

"Paris memberitahu kami kalau karena ia kalian celaka. Ia meminta maaf dengan oma dan mami."

"Terus?"

"Orang yang memiliki video mengancam akan menyebarkannya ke media sosialnya."

"Bukannya orang tua Paris bisa membereskannya sendiri?"

"Bukan hanya Paris yang memiliki video itu. Tetapi orang itu sudah menyebarkannya ke teman-temannya dan salah satunya media di televisi."

"Oma bantu Paris membungkam mereka semua?" Tebak gue yang pasti akan Paris lakuin sampai ia mengaku lebih dahulu ke keluarga gue sebelum video itu dilihat dari orang lain.

"Iya."

"Bukannya masalahnya sudah selesai. Kenapa mami masih khawatir?"

"Mami merasa ga enak dengan Laura dan orang tuanya. Anak mereka juga celaka oleh Paris dan yang membantu pelakunya orang tua mami."

"Apa papi tahu?"

"Ga, papi kamu belum tahu." Kalau papi tahu, papi jelas ga akan membiarkan Paris atau siapa pun menyakiti anak-anaknya. 

"Karena itu mami minta kamu untuk ikut bertemu dengan Laura dan orang tuanya malam ini. Mami mengundang mereka makan malam sekaligus meminta maaf ke mereka."

"Kenapa mami lakuin itu? Kalau mami diam, orang tua Laura juga ga akan tahu."

"Tory, mami juga orang tua. Kamu tahu begitu melihat video itu jantung mami seakan mau berhenti. Bagaimana kalau waktu itu kamu ga bisa bertahan terjangan ombak dan terbawa arus?"

"Melihat kamu terluka parah bikin mami ga bisa tidur!"

"Apalagi orang tua Laura? Kalau suatu saat mereka mendapatkan video dari orang lain dan melihat putri mereka didorong dan menghadapi bahaya, mereka pasti sangat marah!"

"Mi, aku masih ingat papi dan mami membuat keluarga Laura bangkrut begitu papi mami tahu Laura mengubah papan arah yang bikin kami tersesat di dalam gua dan hampir mencelakakan kami."

"Tapi kenapa saat aku terluka parah, mami ga melakukan hal yang sama ke Paris? Apa karena target Paris itu Laura bukan aku? Atau karena mami menganggapnya anak mami?"

"Kamu salah. Mami sangat ingin membalas Paris kalau bukan karena oma punya penyakit jantung." Jawab mami dengan nada penuh emosi.

Melihat reaksi mami sepertinya mami ga suka dengan Paris. Itu bagus tapi tetap aja ga adil untuk Laura. Terutama oma jelas menyatakan dimana posisinya. Kalau Paris minta oma untuk menghancurkan Laura dan keluarganya, oma ga akan segan melakukannya. 

"Mi, bantu keluarga Laura."

Hanya itu yang bisa gue lakuin sebagai kompensasi pada Laura. Dengan bantuan mami di belakang mereka, keluarga Laura ga akan diremehkan oleh orang-orang yang ingin mereka hancur. Terutama dari Paris maupun oma. 

Mami terdiam menatap gue beberapa detik. "Ya, mami akan bantu mereka."

Walaupun nanti mereka akan menolak tawaran kami, tetap saja pada akhirnya mereka akan menerimanya. Hanya saat memiliki kekuasaan maka mereka akan merasa aman dan siapapun akan berpikir sebelum menyakiti Laura. Terutama, Laura ga perlu menggunakan dirinya sendiri untuk melindungi dirinya lagi.

*****

Restauran yang dipesan mami di salah satu milik usaha mami yang menyediakan private room. Kami lebih dahulu datang yang ga lama orang tua dan Laura datang.

Mami ahli dalam bersosialisasi membuat orang tua Laura merasa nyaman. Bahkan gue ga menyangka kalau mami dekat dengan mami Laura. Mereka menjadi dekat setelah bertemu di rumah sakit.

Setelah kami selesai menyantap hidangan, mami memberi tanda untuk membicarakan tujuan kami makan malam.

"Tujuan kami mengundang makan malam ini bukan hanya untuk membuat hubungan kita lebih dekat tetapi saya ingin meminta maaf pada Pak Darwin dan Arlin, terutama pada Laura."

"Minta maaf soal apa?"

Mami meminta asistennya memperlihatkan video rekaman pada orang tua Laura.

Ekspresi wajah orang tua Laura sangat jelas berubah dari yang tenang menjadi penuh amarah lalu ketakutan begitu melihat Laura bertahan di tengah terjangan ombak.

"Kenapa anda minta maaf?" Tanya Papi Laura setelah menonton rekaman video.

"Perempuan yang mendorong Laura bernama Paris. Dari kecil ia dekat dengan saya dan ibu saya."

"Video itu diberikan Paris karena pemilik video mengancamnya. Paris meminta bantuan orang tua saya untuk membungkam orang-orang yang tahu agar kejadian dan bukti itu semua tidak menyebar."

"Tante ga perlu minta maaf." Laura terlihat tenang seakan tahu tujuan kami mengundang mereka.

"Saya juga terlibat. Saya memprovokasi Paris hingga ia marah dan mendorong saya."

"Tapi tetap saja Paris salah. Mendorong kamu walaupun dia tahu saat itu air pasang."

"Tante, bagi saya kejadian waktu itu sudah selesai."

"Terima kasih sudah memberi tahu kami. seperti yang Laura katakan, kami anggap masalah selesai."

"Belum." Ucap gue menatap papi Laura. "Masalahnya belum selesai.

"Apa bisa saya bicara berdua dengan om?" Gue meminta David untuk mendorong kursi roda gue keluar tanpa persetujuan papi Laura. Mengajaknya ke ruangan sebelah yang sudah gue reservasi.

"Apa yang mau kamu bicarakan?" Tanya papi Laura begitu kami di dalam ruangan. Raut wajahnya sangat ga menyukai arogansi gue. Bikin gue malu akan tindakan gue barusan. 

Gue memberi tanda David untuk keluar ruangan. Meninggalkan kami berdua papi Laura di dalam. "Saya minta mami untuk bantu keluarga om." 

"Tidak perlu." Tolak papi Laura tegas. "Kalau kamu mengajak saya cuma meremehkan harga diri saya dan keluarga saya, saya minta lebih baik hubungan kamu dan Laura putus."

Sorot matanya jelas marah dan kecewa. Bahkan gue semakin malu sendiri dengan memberikan tawaran seakan semuanya selesai jika dibantu dengan uang dan kekuasaan yang kami miliki.

"Maaf, om. Saya hanya bermaksud ingin agar perusahaan om semakin kuat sehingga tidak ada yang semena-mena hingga menyakiti Laura lagi."

"Saya bisa mengatasinya."

"Terima saja, Pi." Ucap Laura masuk ke dalam dan mendekati kami. Ternyata ia mendengar pembicaraan kami.

"Laura.."

"Pi, anggap saja ini permohonan maaf dari Tory dan maminya."

"Tidak! Kita punya harga diri"

"Harga diri? Selama ini kita selalu diinjak oleh orang-orang yang dulu pernah menjadi partner papi. Kalau papi mau tahu, mereka selalu meminta Laura untuk menjadi pajangan di pesta mereka supaya proposal perusahaan kita diterima."

Jadi pajangan? Gue menahan rasa amarah begitu mendengar ucapan Laura.

Wajah papi Laura jelas terluka mendengar pengakuan Laura. "Kenapa kamu ga cerita ke papi?"

"Gara-gara Laura bisnis kita hancur." Jawaban Laura seakan menghantam gue. 

Bukan hanya Laura penyebabnya, tetapi gue juga yang bikin bisnis mereka hancur. Karena itu gue ingin memperbaiki semuanya. 

"Gue harap lo penuhi janji lo buat bantu keluarga gue." 

"Ya, gue janji."

Papi Laura terdiam menatap kami lalu pergi dengan raut wajah kesal.

"Gue semakin jelek di mata papi lo," Gue melirik papi Laura yang membanting pintu begitu keras. 

"Kenapa? Lo mau menangin hati papi gue?"

"Bukannya gue pacar lo?"

Laura tersenyum. "Tory, lebih baik kita akhiri kerja sama kita."

Akhiri kerja sama? "Apa maksud lo?" 

"Lo benar soal gue. Gue ga pernah bisa berubah jadi wanita yang lo mau. Jadi, lebih baik lo cari wanita yang sesuai kriteria lo."

"Lo serius?"

"Ya, gue serius." Tekad Laura yang tanpa ada rasa sedikit pun. Seakan rasa sukanya selama ini ga ada sama sekali. 

"Gue berterima kasih lo sudah banyak menolong gue. Lain kali gue akan balas hutang budi gue sampai tuntas."

"Laura," Gue memegang lengan Laura. "Gue anggap ucapan lo tadi ga ada!" 

"Tory, kalau gue hanya beri lo dua pilihan. Akhiri kerja sama kita atau kita benar-benar serius jalin hubungan, bukan cuma pura-pura tapi benaran serius sampai menikah."

"Lo bercanda?"

"Orang tua gue pengen gue menikah dengan laki-laki pilihan mereka sebelum kita pura-pura pacaran. Selama ini gue selalu menolak karena gue masih punya perasaan sama lo."

"Gue pikir hubungan kita bisa jadi kesempatan gue untuk bikin lo suka ke gue. Ternyata itu cuma khayalan gue."

"Gue menyerah, Tory. Gue juga pengen bertemu dengan pria yang cinta ke gue." Laura melepaskan genggaman gue dan berdiri.

Laura benar. Tapi kenapa dada gue terasa sakit? Apalagi membayangkan jika Laura jadian dengan pria lain. Ada perasaan takut dan kalut kalau perasaannya ke gue lenyap. Perasaan kalut kalau ia menjadi milik orang lain. 

Tangan gue menarik lengan Laura begitu kuat hingga ia jatuh ke pangkuan gue. Menahannya dengan melingkari pinggangnya. Membalikkan tubuhnya menghadap gue.

Tidak peduli dengan pekikan dan raut wajahnya yang terkejut menatap gue. Tangan kiri gue menahan belakang kepalanya. Gue menunduk dan menciumnya.

Seakan binatang buas yang ga puas hanya bersentuhan, hasrat penuh ingin mencicipinya. Haus akan lembut bibirnya.

"Gue ga akan membiarkan lo nikah dengan siapapun!"

"Kenapa? Bukannya lo ga punya perasaan ke gue?" Tanya Laura yang ga percaya kalau gue sungguh-sungguh ingin menjadi sepasang kekasih. Bukan hubungan palsu seperti sebelumnya.

"Gue ga mau lo jadi milik orang lain. Gue mau lo milik gue! cuma gue!"

Laura tertawa kecil. "Lo ga menyesal? Gue ga akan melepaskan lo kalau lo mau putus dari gue."

"Ya" Jawab gue pasti. Gue ga peduli dengan perasaan gue sekarang hanya karena cinta atau posesif. Tetapi yang gue mau Laura jadi milik gue sepenuhnya.

 "Gue ga akan putusin lo. Kalau lo mau hubungan kita serius sampai menikah, kita akan lakuinnya. Itu janji dan komitmen gue sampai kapanpun."

"Oke, gue ingat semua ucapan lo barusan. Bahkan kalau lo punya perasaan ke orang lain, gue ga akan melepaskan lo."

Laura memeluk gue erat. "Ya, gue milik lo sepenuhnya."

Tangan gue terangkat menyibakkan rambut yang menutup kening Laura. Mencium kening turun ke hidung dan terakhir ke bibirnya. Mengecupnya lembut.

"Ga ada orang lain. Hanya lo yang gue mau sampai kapan pun." Karena selama gue berhubungan dengan banyak cewek, hanya Laura yang gue takut membayangkan kalau ia menikah dengan orang lain. Hanya gue satu-satunya yang menikah dengannya. Hanya gue yang berhak dan pantas jadi suaminya. 

*****

Previous        Index        Next

Komentar

Postingan populer dari blog ini

NEMESIS

RyuKuni Game Chapter 2

Ryukuni Game Chapter 1