Tok, tok, tok, suara ketukan pintu sebelum sekretaris gue, David masih ke dalam ruang kerja. Tatapan gue ga berhenti dari dokumen yang harus gue periksa sebelum disetujui. Tanpa melihat, gue tau hanya David yang mengetuk pintu dan langsung masuk ke dalam.
"Ada apa?" Tanya gue terus membaca dokumen di atas meja.
"Ada Bu Laura Valencia di lobby. Beliau meminta bertemu dengan bapak." Jawab David dengan hati-hati. Jika sebelumnya ia akan langsung meminta resepsionis untuk menolak dengan berbagai alasan tanpa memberitahu gue, sekarang dengan kabar yang beredar David ga melakukannya.
"Minta dia ke atas." Kalau dulu ia masuk daftar blacklist jika ia datang menemui gue, tetapi untuk saat ini pengecualian. Semua orang tau kalau kami punya hubungan khusus dan kalau gue menolaknya, tentu semua orang tau kebohongan gue.
"Baik, Pak." David segera keluar dari ruangan gue.
Gue kembali melanjutkan pekerjaan gue sambil menunggu Laura datang ke ruangan gue. Penasaran apa yang ingin ia bicarakan sampai datang ke tempat kerja.
"Permisi, Pak" David membuka pintu dan mempersilakan Laura masuk ke dalam ruangan. Lalu menutup pintu. Hanya ada kami berdua di ruangan.
Gue berdiri dan memberi tanda agar Laura duduk di sofa yang ada di ruang kerja. Lalu mengambil tempat duduk di seberangnya.
"Nyokap lo hubungin gue," Ucap Laura membuka pembicaraan. "Nyokap lo mau bertemu dengan gue siang ini."
Gue sudah memperkirakan mami bakal bertindak. Tapi ga mengira secepat ini setelah papi meminta mami untuk membiarkan gue pacaran dengan Laura.
"Apa jawaban lo ke mami?"
"Gue setuju bertemu dengannya." Jawabnya sambil menatap gue yang tenang. "Kenapa lo ga cerita yang sebenarnya ke mami lo?"
"Gue ga mau dijodohkan dengan Paris."
Gue meneliti ekspresi Laura yang terlihat biasa. Gue rasa ia sudah mendengar kabar kalau mami pengen Paris jadi menantunya. Walaupun ga secara langsung mami mengatakannya sambil memperkenalkan Paris dihadapan teman-temannya, tetapi perlakuan khusus ke Paris bikin semua orang yakin kalau Paris akan menjadi bagian keluarga kami. Perlakuan khusus itu juga yang menguntungkan buat Paris dan keluargnya.
"Kenapa lo pilih gue? Bukannya lo benci gue?"
"Kalau gue digosipi dengan cewek lain, gue bakal minta cewek itu jadi pacar gue." Laura hanya diam menatap gue. Terlihat sorot matanya yang kecewa.
Meskipun yang gue ucapkan kejam, tapi gue ga mau membohongi Laura dan memberikan harapan untuknya. Gue ga peduli siapapun cewek yang digosipi dengan gue asal bisa membatalkan perjodohan mami. Walaupun gue tau, cewek itu ga akan tahan dengan tekanan dari mami dan malah bikin gue bisa menikah dengan Paris.
Kebetulan yang sangat tepat cewek yang digosipi itu Laura. Harus gue akui kalau gue memang membutuhkan Laura untuk menggagalkan perjodohan sampai gue menemukan wanita yang tepat untuk mendampingi gue. Hanya Laura yang gue tau bisa menandingi mami. Hanya dia yang bisa membuat Paris ga berkutik dengan tipu dayanya.
"Gue mengerti." Ucap Laura setelah lama diam. "Apa yang harus gue bilang ke nyokap lo?"
"Lo jadi diri lo sendiri." Gue yakin Laura tau apa yang harus ia bilang dan yang ia lakukan menghadapi mami.
"Baik." Laura menunduk sambil tersenyum.
"Kalau kita pura-pura pacaran, berarti lo datang ke pesta ulang tahun gue minggu depan?" Gue baru ingat kalau minggu depan pesta ulang tahun Laura.
Waktu kami TK, setiap kali ia berulang tahun, ia akan terus mengingatkan dan meminta gue datang ke pesta ulang tahunnya. Saat itu gue yang masih kecil sangat suka dengan pesta ulang tahun tentu selalu hadir di pesta ulang tahunnya.
Gue masih ingat di acara ulang tahunnya, ia selalu menarik gue berdiri di sampingnya di hadapan orang banyak. Lalu menyuapi gue dengan kue ulang tahun. Setelah itu kakek dan nenek yang mendengar kabar itu dari nanny yang mengantar gue selalu menggoda gue dan Laura. Bukan hanya mereka tetapi sampai guru dan teman-teman satu sekolah.
Awalnya gue merasa biasa. Setelah bertambah usia, gue ga suka digoda dengan bawa nama Laura. Yang tadinya gue senang berteman dengan Laura jadi menjaga jarak darinya. Itu yang membuat Laura makin posesif dan mengejar gue.
Di pesta ulang tahunnya saat kami kelas 1 SMP, gue terpaksa datang ke ulang tahunnya dengan syarat gue ga mau berdiri berdampingan dengannya. Ia menepati janjinya bikin gue tenang. Tetapi begitu acara suapan potongan kue, ia memberikan suapan pertama untuk gue. Menjadikan kami kembali bahan godaan satu sekolah esok harinya.
Trauma yang gue alami kembali membuat gue malu, marah dan ga mau dekat dengannya. Gue lebih memilih dekat dengan cewek manapun asalkan bukan Laura demi menghindari godaan semua orang. Sebab sikap gue yang menghindarinya, ia menyebarkan kabar kalau gue gay agar semua orang menjauhi gue.
Itu pesta terakhir diadakan Laura yang gue datangi. Setiap kali ia mengundang ke pestanya, gue selalu ga pernah hadir. Siapa yang akan hadir ke pesta orang yang dibenci. Yang sudah merusak nama baik gue.
"Kalau lo ga mau datang juga ga apa-apa."
"Gue akan datang." Jawab gue yang dibalas dengan senyuman oleh Laura. Terlihat ia senang begitu gue setuju untuk menghadiri pestanya setelah sekian lama.
Ia membuka tasnya dan mengeluarkan kotak kecil berwarna hitam dengan hiasan pita di atasnya. Menyerahkannya ke gue.
"Kado buat lo. Selamat ulang tahun, Tory" Ucapnya terus memegang kotak itu. Gue mengambil kotak di tangan Laura.
"Ulang tahun gue sudah lewat dua bulan yang lalu."
"Gue tau." Ia tersenyum sambil melirik kotak yang ada di tangan gue. Lalu ia bangkit berdiri. "Kalau begitu gue pergi. Setengah jam lagi janji temu dengan mami lo."
"Tunggu, lo ga mau apapun setelah bantu gue?" Tahan gue yang ikut berdiri.
"Ga. Anggap aja gue balas budi karena lo nyelamatin gue dari Benny dan bikin saham perusahaan Jefry turun dratis"
"Selain itu, sebagai permintaan maaf atas kelakuan gue yang dulu ke lo dan karena lo tolong gue, lo digosipi."
"Baik. Tapi kalau lo berhasil menjauhkan gue dari Paris, gue akan support perusahaan bokap lo," Janji gue. Gue ga akan segan-segan memberi apapun asal gue ga menikah dengan Paris.
"Ga." Tolak Laura mengejutkan gue. Yang gue janjikan pasti sangat menguntungkan perusahaan ayahnya. Bukannya ia ingin kembali ke kehidupannya yang dulu.
"Tapi gue mau 1 permintaan yang harus lo kabulin." Jawab Laura tentu bikin gue mengernyitkan dahi.
"Permintaan apa?"
"Gue masih belum pikirkan. Nanti gue akan beritahu lo untuk memenuhi permintaan gue."
"Oke. Asalkan bukan minta gue nikahin lo atau hal yang menyakiti gue dan keluarga gue, gue akan penuhi permintaan lo."
"Tenang aja. Gue ga akan minta hal seperti itu."
Setelah mendengar pernyataan dari Laura perasaan gue lega. Hanya dua hal itu yang ga akan gue penuhi kalau nanti ia mengatakan permintaannya untuk gue penuhi.
Laura mengulurkan tangannya tanda kerja sama kami yang gue sambut. Jari-jarinya yang lentik terasa hangat di telapak tangan gue. Ga tau berapa lama kami bersalaman, Laura lebih dahulu melepaskan tangannya.
"Gimana caranya gue kabari lo setelah bertemu dengan mami lo? Gue ga mungkin selalu datang ke kantor lo."
Gue menyebutkan nomor ponsel pribadi gue ke Laura. Hanya sekali, ia bisa mengingat nomor yang gue sebutkan.
"Gue pergi dulu. Nanti gue hubungi lo." Ucap Laura yang gue antar keluar ruangan. Sengaja agar semua sekretaris gue melihat kedekatan kami.
Gue menatap Laura yang berjalan menuju lift. Gue penasaran bagaimana Laura menghadapi mami. Bukan karena ia gagal tetapi gue pengen liat mami dikalahkan olehnya.
"David," Panggil gue yang masih berdiri di depan pintu. Ruang kerja David di seberang pintu gue. "Kalau mami saya tanya tentang saya, bilang kalau saya ada janji dengan klien"
"Baik, Pak."
Gue menyusul Laura yang berdiri di depan pintu lift. Menekan tombol lift dan menunggu pintu lift terbuka.
"Gue antar lo," Ucap gue di belakang Laura tepat saat pintu lift terbuka. Terlihat ekspresi wajah Laura yang terkejut dengan kehadiran gue.
"Kalau nyokap lo tau?"
"Gue duduk di meja lain." Gue mempersilakan Laura masuk lebih dahulu dan mengikuti di belakangnya. Menekan tombol G yang mengarah ke lobby.
"Lo mau naik mobil gue? Nyokap lo akan tau kalau lihat mobil lo di parkiran."
"Gue ga mau sesak di mobil lo"
Gue masih ingat saat pacaran dengan Aline, ia menjemput gue di bandara. Gue kira ia dan supirnya di dalam mobil. Ternyata di dalam ada manager dan dua asistennya. Selama di perjalanan bikin gue ga nyaman. Sejak itu ga mau naik mobil yang mantan gue yang berprofesi di dunia hiburan. Mereka ga pernah sendiri kalau berpergian.
"Gue nyetir sendiri." Ucap Laura mengejutkan gue.
"Lo ga pakai supir? Manager dan asisten lo?"
"Bukannya lo ga suka kalau ada orang lain yang tau kalau gue mau ketemu dengan lo"
Benar. Gue memang ga suka. Tapi kenapa dia bisa tau kalau gue ga suka? Jangan-jangan selama ini ia masih stalking gue?
"Baik, tapi gue yang nyetir." Gue ga mau memarahinya yang tau semua tentang gue setelah sekian lama. Marah pun percuma. Ia pasti akan terus melakukannya. Biar saja sampai ia bosan dan berhenti sendirinya.
Laura membuka tasnya dan memberikan kunci mobilnya sambil tersenyum.
Begitu pintu lift terbuka, gue memegang tangan Laura. Berjalan bersama Laura di bawah tatapan para karyawan sampai keluar gedung. Setelah kami pergi, mereka pasti menyebar gosip sampai ke telinga keluarga gue. Bahkan sampai ke telinga Paris.
Begitu sampai di samping mobilnya yang terparkir di halaman gedung, gue membuka pintu penumpang untuk Laura. Menunduk memasangkan sabuk pengaman. Menikmati reaksi terkejutnya akan tindakan gue. Bahkan gue bisa merasakan ia menahan nafasnya. Rona wajahnya yang perlahan memerah padam.
Setelah memasangkan sabuk pengaman, gue menutup pintu dan masuk ke kursi pengemudi. "Lo ga apa-apa kalau gue ngebut?" Tanya gue ke Laura yang mengangguk setuju tanpa menatap gue. Wajahnya masih merona.
Reaksi Laura jadi hiburan buat gue. Apa gue terus menggodanya?
Ga! Pikiran gila harus gue hentikan. Kalau gue melakukannya, gue akan sulit lepas darinya setelah semua selesai.
Gue melajukan mobil Laura ke restoran yang ga jauh dari perusahaan. Setelah sampai di restoran, gue memesan meja yang memiliki sandaran belakang kursinya tinggi menjadi pembatas dengan meja di belakangnya.
Gue duduk tepat di belakang Laura. Mami ga akan melihat gue kecuali kalau ia mau ke kamar kecil yang melewati deretan meja tempat gue duduk.
Setelah menunggu 15 menit, gue mendengar suara mami. Gue menajamkan pendengaran gue.
"Saya tidak mau basa basi." Ucap mami begitu duduk. "Sebutin nominal supaya kamu putus hubungan dengan Tory."
"Menurut tante Tory bisa diganti dengan uang?" Balas Laura dengan nada tenang. Ga terintimidasi sedikit pun. "Kalau begitu sebutin nominal berapa saya bisa memiliki anak tante."
"Kamu!" Suara mami terdengar sangat marah. mami ga pernah bereaksi seperti itu. "Anak saya tidak bisa diganti dengan uang!"
"Kalau begitu, tante jangan menawarkan saya uang. Karena bagi saya Tory juga tidak bisa diganti dengan uang."
"Jangan kamu pikir saya tidak tau kalau kamu milih Tory karena kamu bisa dapatkan lebih banyak dari yang saya tawarkan!"
"Kamu pikir kalau kamu pacaran dengan Tory, Tory akan berikan semua yang kamu mau? Bisa menikah dengannya!"
"Ga. Tory ga akan berikan semuanya. Tapi saya bisa berikan semua yang Tory mau." Jawab Laura bikin gue bertepuk tangan dalam hati. "Sedangkan kalau menikah, kita lihat saja nanti."
"Jangan berharap kamu bisa menikah dengan Tory!"
"Kalau kamu tidak putus dengan Tory sekarang, saya akan menghancurkan perusahaan keluarga kamu!" Ancam mami yang biasa sukses menakuti mantan gue sebelumnya.
"Silakan. Saya akan minta Tory untuk menghidupi saya dan keluarga saya. Saya yakin Tory tidak akan menolak karena maminya buat perusahaan kami bangkrut dan hidup miskin."
"Kamu!"
"Bu, Minum dulu" Ucap Sorya, asisten mami yang biasanya selalu bersama mami.
Terdengar suara gesekan kursi. "Lihat saja! Saya akan buat kamu menyesal sudah menolak tawaran saya!"
"Mami lo sudah pergi." Laura memberitahu gue bikin gue berdiri. Mengintip Mami keluar dari restoran bersama tante Sorya dan masuk ke mobil yang terparkir di depan restoran.
"Lo hebat bisa melawan kata-kata mami gue." Puji gue sambil menunduk ke arah Laura yang tenang minum.
Setelah semua tenang, gue memutari deretan meja dan duduk di hadapan Laura. Lalu meminta pelayan untuk menyediakan makanan yang gue pesan diantarkan di meja Laura.
"Apa lo ga takut mami gue bakal lakuin yang ia bilang?
"Ga." Laura menatap gue lama. "Gue akan menjadi parasit di kehidupan lo kalau itu terjadi. Ga apa-apa kan?"
"Lo benar-benar akan menggantungkan hidup lo ke gue?" Apa dia serius?
"Ya. " Jawab Laura sambil mengangguk. F*ck! Ia benar-benar serius!
"Sebelum itu semua terjadi, gue akan minta bokap gue buat menghentikan mami!" Gue ga akan biarin Laura terus menempel ke kehidupan gue selamanya!
"Bokap lo ga masalah kita berhubungan?" Tanya Laura dengan hati-hati.
"Ga. Bokap gue setuju. Jadi tenang aja. Gertakan mami ga akan terjadi" Ucap gue menenangkan Laura. Walaupun gue sangat tau tanpa bantuan papi, mami akan melakukan semua ancamannya dengan bantuan perusahaan Opa, ayah mami. Tapi kalau papi minta mami berhenti, mami pasti nurut kata-kata papi.
"Apa gue harus ucapin makasih ke lo?" Tanya Laura yang sudah terlihat tenang.
"Ga perlu." Bagaimanapun kalau ia terlibat masalah karena hubungan kami, gue akan merasa bersalah.
Ga lama pelayan mengantarkan semua pesanan di meja kami. Bersyukur semua pesanan kami datang setelah mami pergi. Walaupun mami ga akan menyiram Laura dengan minuman atau melemparinya makanan, tetapi gue khawatir adegan seperti di sinetron terjadi. Terutama mami yang sangat marah bisa aja gelap mata dan ikut-ikutan seperti di sinetron.
"Kenapa?" Tanya Laura yang melihat gue diam. "Lo ga makan?"
"Gue makan." Gue mengangkat sendok dan garpu dan mulai makan makanan yang gue pesan.
Hanya terdengar suara detingan alat makan. Gue ga menyangka akan duduk dan makan siang dengan Laura setenang ini. Dan gue rasa makan bersamanya ga begitu buruk. Kami bisa makan dengan tenang tanpa ngobrol. Menikmati rasa makanan yang masuk ke dalam mulut dan seseali saling bertatapan.
Berbeda dengan mantan gue yang sebelumnya selalu mengajak gue ngobrol. Mengeluh berat badan mereka bertambah setelah makan yang mereka pesan. Bahkan ada yang sampai tersedak karena bicara saat ada makanan di mulutnya.
Tetapi dengan Laura, gue bisa makan dengan tenang tanpa gangguan sedikitpun. Dan gue baru menyadari kalau sikap Laura ga sama seperti dulu. Ia terlihat lebih dewasa. Lebih tenang dan kalem dari yang dulu. Tapi perasaan curiga tetap terlintas di pikiran gue. Apa itu benaran atau ia hanya berpura-pura seperti dulu di hadapan semua orang?
********
Komentar
Posting Komentar