Malam ini gue pulang lebih cepat dan mengosongkan jadwal untuk menghadiri acara ulang tahun Laura yang diadakan di hotel ternama. Laura memesan restoran yang berada di atap gedung hotel.
Membayangkan pesta yang diadakan di atap gedung bikin bulu kuduk gue merinding. Bokap Laura ga akan melempar gue ke bawah kan? Apa gue bilang kalau gue ga bisa hadir?
Ah, tapi gue sudah janji. Tenang. Gue yakin bokap Laura ga akan melempar gue. Kalau itu terjadi, gue akan bawa Laura sama-sama gue.
Di balik dinding kaca, gue ga melihat sedikitpun orang ataupun dekorasi yang mewah. Hanya seorang pelayan berdiri di balik pintu dan membuka pintu untuk gue.
"Silakan, Pak." Pelayan laki-laki mengajak gue ke arah pod dining yang dihias mewah. Penuh dengan cahaya lampu dan hiasan bunga.
Laura berdiri begitu gue mendekat. Ia mengenakan gaun berwarna putih dan terlihat sangat cantik.
"Maaf, lo tunggu lama." Ucap gue begitu masuk ke dalam. Lalu menyerahkan buket bunga mawar dan hadiah yang sudah gue siapkan untuk Laura.
"Selamat ulang tahun."
"Terima kasih," Laura menggenggam buket bunga dan mengambil paper bag berwarna biru muda di tangan gue. Meletakan hadiah di atas meja dan hanya memegang buket bunga. Wajahnya terlihat sangat senang.
"Lo ga mengadakan pesta?" Tanya gue setelah kami duduk berhadapan.
"Ga. Lo bukannya ga suka pesta ulang tahun?"
"Ya" Kenapa dia bisa tau kalau gue ga suka pesta ulang tahun? Kenapa ia sekarang jadi sepengertian ini?
"Tapi gimana orang tau kalau gue rayain ulang tahun lo?" Gue datang ke pesta ulang tahun Laura bukan hanya untuk menepati janji gue tetapi juga punya niat terselubung. Gue ingin mengelabui orang-orang kalau hubungan kami dekat dengan menemani Laura di pesta ulang tahunnya.
"Gue bisa posting di sosial media gue."
"Oke," Gue ga punya sosial media tetapi orang-orang di sekitar gue memilikinya.
Laura memegang ponsel di tangan kanannya dan di tangan kirinya memegang buket bunga. Mendekatkan buket bunga ke hadiah yang belum dibuka dan memotonya.
"Apa lo perlu foto gue juga?" Tawar gue pada Laura yang tertegun mendengar ucapan gue.
"Ya," Laura mengangkat ponselnya dan mengarahkannya ke gue. Memoto gue yang tersenyum menghadap kamera.
"Apa bisa gue buka hadiahnya?" Tanya Laura yang gue balas dengan anggukan.
Laura mengeluarkan sebuah kotak yang berhias pita berwarna putih. Membuka ikatan pita dan membuka kotak yang ada di atas meja. Di dalamnya ada sebuah kotak perhiasan. Laura mengeluarkan kotak itu dan menekan tombol kecil. Gue yakin ia pasti senang dengan kalung berlian keluaran terbaru dari brand perhiasan terkenal.
"Makasih. Gue sangat senang hadiahnya." Laura tersenyum senang menularkan rasa bahagia.
Gue berdiri mengitari meja. "Apa boleh gue pasangkan ke lo?"
"Ya,"
Gue mengambil kalung yang ada di dalam kotak. Memasangkannya di leher Laura. Ia terlihat sangat cantik dengan kalung yang gue berikan.
"Makasih" Ucap Laura mendongkak menatap gue.
Tangan gue mengusap tengkuk leher Laura. Ruangan yang tadinya dingin, terasa sangat panas. Gue menunduk ke arah Laura. Tatapan gue beralih ke bibirnya. Tak lepas sedikitpun.
"Tory," Bisik Laura menyebut nama gue.
"Hm?" Gimana rasanya kalau bibir kami bersentuhan?
"Ada yang datang." Kalimat itu sukses menyadarkan gue. Seperti menyiram air es di kepala gue.
Fuck! Apa yang mau gue lakuin barusan? Gue berdiri tegap. Lalu kembali ke kursi gue seakan ga terjadi apapun. Menatap Laura yang mengibas wajahnya dengan tangannya. Wajahnya merona dan ga berani menatap gue.
Pelayan datang membawa pesanan kami. "Permisi. Apa bisa tolong foto kami?" Tanya Laura pada pelayan setelah menghidangkan minuman dan makanan pembuka. Kami ga memesan wine karena gue bawa mobil sendiri ke hotel tanpa supir.
"Tentu" Jawab Pelayan sambil tersenyum ramah.
Pelayan itu keluar dari pod dining dan memoto kami di dalam. Lalu menyerahkan ponsel Laura setelah selesai memoto.
"Terima kasih."
"Terima kasih. Selamat menikmati," Ucap pelayan itu sebelum menutup pintu. Meninggalkan kami berdua menikmati hidangan.
"Apa nyokap gue ada ganggu lo?" Tanya gue setelah kami selesai menikmati hidangan pertama. Membuka percakapan setelah suasana yang sangat canggung selama kami makan.
"Ga ada. Cuma gue akan ada syuting iklan dengan Paris di kota N."
Paris? "Lo satu iklan dengannya? Iklan apa?" Laura menjawab brand produk yang terkenal menggunakannya sebagai brand ambassador seorang diri.
"Apa lo mau gue batalin Paris terlibat iklan yang sama dengan lo?"
"Ga. Gue ga mau Paris menggunakan itu buat jatuhin gue. Lagipula cepat atau lambat kami akan berkerja di tempat yang sama."
Yang dikatakan Laura memang benar. Walaupun Laura, artis grade A, ia pasti akan bertemu atau bekerja sama dengan selebgram yang populer seperti Paris.
"Kapan kalian syuting?"
"Hari Selasa minggu depan."
Berarti 5 hari lagi. "Kalau ada apa-apa, lo hubungi gue." Paris pasti bakal berulah. Terutama dengan status sosial keluarganya lebih tinggi dari Laura.
"Makasih, Tory."
"Ga masalah. Lagipula kalau lo ditargeti Paris, itu juga karena gue."
"Hm,"
Malam semakin larut. Cahaya lampu dan suasana semakin romantis. Kalau di hadapan gue memang pacar gue benaran, pasti akan senang dan melancarkan aksi gue. Sayangnya di hadapan gue Laura. Gue hanya bisa menikmati setiap hidangan yang disajikan sampai hidangan penutup.
"Lo pulang dengan siapa?" Tanya gue pada Laura setelah kami selesai menyantap semua hidangan.
"Gue diantar supir."
"Gue antar lo pulang." Gue bangkit berdiri. Mempersilakan Laura keluar lebih dahulu dengan membawa buket bunga. Gue membawa paper bag yang gue berikan ke Laura. Mengandeng Laura sampai ke mobil.
"Gue dengar Andy punya project baru. Apa lo invest ke projectnya?" Tanya Laura saat kami dalam perjalanan menuju tempat tinggalnya.
Film yang tayang berhasil mencetak rekor penonton terbanyak di tengah gempuran film romatis yang menjamur tayang di bioskop. Keuntungan pun sangat besar buat kami para investor di film itu.
Lalu Andy mengabarkan gue kalau ia punya project baru yang akan ditayangkan di platform streaming berbayar. Kali ini Andy membuat series yang bertema romantis. Dengan bumbu-bumbu perselingkuhan.
Gue ga tertarik dengan drama romansa penuh dengan perselingkuhan. Walaupun alur cerita seperti itu juga akan dicintai masyarakat dan dapat dipastikan series yang Andi buat akan mendapatkan keuntungan yang besar meskipun ditayang di platform yang penontonnya harus berlangganan. Tetap gue ga suka karena gue merasa malah seperti ceritanya seperti sinetron yang ga masuk akal dan sangat dramatis.
Oleh karena itu, gue ga ikut invest project Andi. Tetapi yang gue dengar banyak yang invest termasuk Sammy.
"Gue ga ikut kali ini. Gue mau fokus ke pekerjaan gue."
"Apa menurut lo project Andi akan dapat untung besar?"
"Ya." Jawab gue sangat yakin.
Andi memang berbakat menghasilkan karya yang bagus. Bahkan jika itu artis atau aktor baru, ia akan mengarahkan mereka sangat keras sampai mendapatkan hasil yang terbaik.
Bukan hanya itu saja. Naskah yang ia miliki pun selalu bagus. Sehingga menjadi daya tarik masyarakat untuk mengikuti alur cerita sampai akhir.
"Kenapa? Lo mau ikut invest?"
"Ya, gue mau."
"Apa lo sudah beritahu Andi?"
"Belum. Gue ga tau apa Andi mau gue jadi salah satu investornya."
Andi sangat pemilih soal investor. Ia ga mau karyanya jadi ladang pencucian uang.
"Gue akan beritahu Andi. Tapi gue ga jamin kalau ia menerima lo seratus persen. Asal dana yang lo invest murni bukan pencucian uang, ia pasti mau."
"Tenang aja. Uang yang gue miliki hasil kerja gue selama kerja di dunia hiburan. Gue ga bisa selamanya terus menjadi artis."
"Pemikiran lo bagus. Lebih lagi kalau lo belajar bisnis dari bokap lo."
"Ya. Apa gue boleh belajar dari lo?"
"Dari gue? Hm, boleh. Gue bakal ajarin lo."
"Makasih,"
"Ga masalah. Kalau lo sampai rugi, nanti orang-orang bakal bilang kalau gue pacar yang ga bertanggung jawab. Ga bisa jadi tempat konsultasi. Tega bikin lo dicurangi orang lain."
Laura hanya tertawa mendengar ucapan gue.
Tanpa kerasa kami sudah sampai di parkiran gedung apartemen tempat Laura tinggal. Ini kali kedua gue datang ke tempat ini.
"Sekali lagi makasih ya, Tory. Gue benar-benar senang hari ini. Ini ulang tahun yang terbaik."
"Ya, Sama-sama,"
"Gue antarin lo ke atas." Tawar gue sambil melepas sabuk pengaman.
"Apa ga apa-apa? Di sini ga ada orang banyak buat tunjukkan kedekatan kita."
"Biar kita cuma pura-pura tapi gue akan tetap antarin lo. Bagaimana pun gue bertanggung jawab antarin lo pulang sampai gue yakin lo sampai dengan selamat di tempat tinggal lo."
Gue keluar dari mobil dengan Laura juga keluar. Berjalan berdampingan menuju lift.
Setelah sampai di depan pintu apartemen, gue merasa tugas gue hampir selesai.
"Terima kasih, Tory."
"Sama-sama. Lo masuk ke dalam."
"Baik," Laura membuka kunci pintu lalu mendorong pintu agar terbuka.
Ruang apartement Laura gelap tiba-tiba terang. Suara letusan confetti begitu keras dengan isinya jatuh ke arah Laura dan gue.
"Selamat ulang tahun!!" Teriak orang-orang di dalam apartemen mengejutkan ga hanya Laura tetapi gue yang masih berdiri di depan pintu.
Wajah ceria langsung berubah begitu melihat gue.
"Makasih buat surprisenya." Ucap Laura memecahkan keheningan.
"Selamat ulang tahun, sayang." Mami Laura maju dan memeluk Laura. Membuang kertas yang jatuh di rambut Laura.
"Makasih, mi," Laura mencium pipi maminya.
"Selamat ulang tahun, ka." Papi Laura memeluk Laura lalu memberi tatapan tajam ke arah gue.
"Makasih, papi."
"Selamat ulang tahun kakakku yang baik." seorang remaja laki-laki memeluk Laura yang dibalas ucapan terima kasih oleh Laura. Ini kali pertama gue bertemu dengan adik laki-laki Laura. Gue hanya mendengar kalau Laura memiliki adik laki-laki yang usianya terpaut jauh darinya.
Satu-persatu keluarga dan teman-teman Laura mengucapkan selamat pada Laura termasuk manajer dan asistennya.
"Tory," Panggil mami Laura mendekati gue. "Ayo masuk," Ajak maminya terlihat ramah.
"Makasih, tante. Saya ada urusan, lain kali saya datang," Tolak gue malah diberi tatapan tajam dari papi Laura.
"Tapi saya bisa hanya sebentar apa ga apa-apa, tante?"
"Iya, ayo" Mami Laura memberi jalan untuk gue masuk ke dalam.
Walaupun gue merasa seperti masuk ke dalam kandang singa, di bawah tatapan singa yang ingin mengoyak gue, tetapi di luar gue terlihat sangat tenang. Ga merasa terganggu dengan sikap mereka yang siap kapan aja menerkam gue. Bagaimana pun keluarga gue sudah bikin hidup mereka yang tadinya berdiri di posisi atas, jatuh ke posisi bawah dan belasan tahun diinjak-injak lawan mereka.
"Ayo sayang tiup lilinnya," Ajak mami Laura mengalihkan perhatian semua keluarganya ke bintang utama malam ini.
Laura berdiri dengan dihadapannya kue tart yang dihiasi dua lilin angka yang menyala. Semua orang yang hadir menyanyikan lagu 'Selamat Ulang Tahun' sampai selesai lalu disambung lagu 'Tiup Lilin'. Bersorak setelah Laura selesai meniup lilin dan mengucapkan selamat pada Laura.
"Potong kuenya, ka," seorang wanita yang ga jauh beda umurnya dari Laura meminta Laura memotong kue ulang tahunnya.
Apa Laura bakal kasih potongan kue pertamanya ke gue lagi?
Begitu Laura selesai memotong dan meletakan kue ke atas piring kecil yang sudah di siapkan, ia menyuapkan potongan kue pertama ke kakeknya. Gue yang deg deg'an lega begitu ia menyuapkan kue pertamanya ke papinya.
Lalu suapan kedua diberikan ke neneknya. Suapan ke tiga dan ke empat diberikan ke orang tuanya. Begitu suapan ke lima diberikan ke adiknya, Jantung gue kembali detak kencang. Apa ia akan menyuapi gue di hadapan keluarga dan teman-temannya?
Ternyata yang gue pikirkan ga terjadi. Laura meletakan piring ke atas meja tanpa ada kue tersisa. Lalu mengucapkan terima kasih ke semua yang hadir sudah memberikannya kejutan.
Perasaan gue campur aduk. Lega karena Laura ga menyuapkan kue di hadapan keluarga dan teman-temannya. Kecewa kenapa ia ga menyuapkan kue itu ke gue!
"Mari, makan. Mami pesan makanan yang banyak banget." Ajak mami Laura pada semua orang. Terlihat banyak hidangan yang berlimpah di ruang makan yang tanpa sekat di ruang tengah.
Semua orang melewati gue sambil mendengus. Tatapan mereka jelas mengejek gue yang ga mendapat suapan kue dari Laura.
"Ayo, Tory. Ikut makan," Ajak mami Laura tetap ramah ke gue.
"Terima kasih, tante. Saya baru makan. Lain kali pasti saya terima tawaran tante."
"Huh! Lain kali!" Dengus kakek Laura berjalan melewati belakang gue. Suasana terasa canggung tapi gue tetap tersenyum seakan ga mendengar ucapan kakek Laura.
"Tante mau ucapin terima kasih ke Tory. Laura cerita kalau kamu tolong dia. Kalau ga ada kamu di sana, Laura pasti celaka,"
"Tidak perlu terima kasih tante. Saya malah bersyukur sudah ada di sana dan menolong Laura."
"Ehmm!" papi Laura berdiri di belakang gue. "Saya mau bicara dengan kamu."
"Boleh, om."
Papi Laura memberi tanda agar gue mengikutinya menuju balkon di luar ruang tengah. Berdiri tegap seperti Jenderal seakan ingin mengintimidasi gue.
"Apa benar kamu dan Laura pacaran?" Tanya papi Laura menatap tajam gue.
Kalau gue bilang kami hanya pura-pura, apa papi Laura akan melempar gue ke bawah karena mengambil keuntungan dari anaknya?
"Benar, om," Bohong gue yang lebih mementingkan nyawa.
"Bagaimana dengan papimu?"
"Papi setuju, om. Semua keluarga saya setuju," Jawab gue setengah berbohong. Gue hanya berharap mami ga akan bikin masalah ke Laura dan keluarganya.
"Kenapa saya dengar dari tante Laura di pesta Pak Naswi kalau mami kamu menemui Laura dan mengancamnya untuk menjauhi kamu? Mami kamu juga bilang kamu punya calon istri pilihannya!"
Mami bilang begitu? Lalu kabar mami menemui Laura kenapa bisa tersebar? "Itu tidak benar, om. Siapa yang bilang? Mami tidak bisa datang ke pesta Pak Naswi karena menemani oma di rumah sakit di luar negeri"
Mami memang ga bisa hadir karena jadwal oma check up di rumah sakit yang bertepatan dengan hari pesta Pak Naswi. Hanya kakak dan ipar gue yang menggantikan mami hadir. Gue sangat yakin kakak dan ipar gue juga bukan orang yang suka ikut campur urusan gue apalagi menceritakan privasi keluarga gue.
"Selain itu memang benar mami menemui Laura tetapi hanya ingin mengenal Laura," Bohong gue yang ga ingin papi Laura marah besar. Selain itu, gue ga mau nama mami jelek dihadapan papi Laura.
"Apa itu benar? Semua berita itu bukan dari mami kamu"
"Bukan, om. Mungkin tante Laura dengar dari orang lain yang ingin merusak hubungan saya dengan Laura." Sangat jelas ada yang ingin merusak hubungan kami dengan menyebarkan kabar kalau mami mengancam Laura dan gosip yang mengatakan kalau gue punya calon istri pilihannya. Gue juga yakin siapa pelakunya.
Kabar mami selalu mengancam mantan gue memang bukan rahasia umum. Tetapi bukan berarti kabar kali ini bisa menjadi konsumsi untuk bahan gosip kalangan kami!
Bukan hanya itu saja. Selama ini mami ga pernah beritahu siapa pun menantu pilihannya langsung dari mulutnya. Hanya teman-teman di sekitarnya saja yang menebak kalau Paris jadi menantu keluarga gue. Menggoda Paris dengan sebutan menantu mami karena mami menganggap Paris bagian keluarganya.
"Hm! Kita lihat saja! Kalau sampai Laura kenapa-kenapa, kamu yang saya datangi!"
"Om tenang saja. Laura akan saya lindungi kalau terjadi sesuatu bahkan kalau itu dari keluarga saya sendiri."
"Saya tidak mau kamu melindunginya! Saya mau Laura tidak mendapat masalah sedikitpun terutama dari keluarga kamu! Saya mau kamu pastikan tidak ada yang menyakiti Laura sebelum ada yang bertindak lebih dahulu!"
"Kalau mereka lebih dulu bertindak menyakiti Laura, apa gunanya perlindungan kamu, hah!"
"Saya akan pastikan tidak akan terjadi apapun ke Laura. Saya janji, sebelum itu terjadi ke Laura, saya akan membereskan semuanya." Janji gue yang terpikir pertama yaitu gosip yang tersebar di kalangan kami.
Gosip yang terlihat kecil tetapi dampaknya bisa sangat besar. Laura bisa dituduh perebut pasangan orang, selain itu bisa dihina karena mami menentang hubungan kami. Walaupun memang benar mami ga setuju hubungan kami, tetapi perlu menyelesaikan semua untuk menjaga nama baik Laura dan mami gue. Ga ingin mami mau pun Laura menjadi pembicaran banyak orang yang senang mendengar gosip mengenai konflik keluarga orang lain.
Gue ingin mengatasi itu semua. Hal pertama yang gue pikirkan yaitu akan membujuk mami berhubungan baik dengan Laura. Memberi kesempatan agar mami mengenal baik Laura.
"Baik, saya pegang janji kamu. Tapi ingat, peringatan saya tidak main-main. Saya tidak takut walaupun keluarga kamu berkuasa sekalipun!"
"Iya, om. Om bisa pegang janji saya. Saya siap menerima kalau saya gagal menepati janji saya,"
Papi Laura mengangguk. Tatapannya terlihat lebih ramah dari awal kami bertemu. Papi Laura mengajak gue masuk ke dalam. Berbaur dengan keluarga Laura. Bahkan ia memperkenalkan keluarga Laura satu per satu.
Papi Laura hanya dua bersaudara. Tante Laura, tante Nira terlihat sangat ramah. Ia menikah dengan seorang pegawai di Kementerian dan tidak berniat menjalankan perusahaan milik keluarga mereka. Hanya dua anak laki-lakinya yang sekarang bekerja membantu papi Laura di perusahaan. Sedangkan anak perempuannya memilih bekerja di pemerintahan.
Walaupun tante Nira tidak bekerja di perusahaan dan terlihat ga punya hubungan dengan sosial kelas atas, Ia senang berteman dengan siapa saja. Bahkan ia masih memiliki hubungan baik dengan teman-temannya yang sosial kelas atas. Ia sering di undang di pesta yang diadakan teman-temannya, salah satunya istri Pak Naswi. Ia menceritakan gosip dari teman-temannya kalau mami bilang ia punya calon menantu yang dipilihnya saat di pesta. Mereka tahu kalau Laura keponakan tante Nira pacaran dengan gue dan sengaja memberitahu kabar itu ke tante.
Tentu aja gue meluruskan kabar yang beredar ke tante Nira. Bahkan saat tante Nira meminta gue berfoto berdua dengan Laura langsung gue setujui. Gue yakin tante Nira akan memposting foto itu ke sosial medianya. Menyebarkan ke teman-temannya kalau gue menghadiri pesta kejutan Laura. Salah satu cara efektif untuk meredakan gosip.
Tetapi tetap lebih efektif kalau ada foto mami dengan Laura. Semua gosip akan reda dan keluarga Paris ga akan memiliki kesempatan buat menyebar gosip lagi. Terutama menggunakan kedekatan Paris dan mami yang disebar sebagai calon menantu pilihan mami demi keuntungan perusahaan milik mereka.
"Tory," Panggil Laura sambil membawa potongan kue di tangannya. "Buat kamu," Ia menyerahkan piring ke arah gue yang langsung gue ambil.
Gue pikir gue ga akan dapat potongan kue ulang tahun darinya. Gue memakan potongan kue di hadapan Laura. Rasa penasaran gue mengalahkan pertahanan diri. "Kenapa lo ga suapin gue potongan kue pertama?"
Laura terlihat terkejut lalu tersenyum sambil menatap gue lama. "Bukannya lo ga senang kalau gue suapin lo potongan kue di hadapan orang banyak?"
Jawaban Laura bikin gue tertegun. Kenapa ia malah sepengertian itu? Gue ga butuh ia sepengertian itu! Apa karena Laura mau balas semua perlakuan gue dulu ke dia jadi ia lebih cuek ke gue sekarang? Apa ia sudah ga cinta gue lagi?
"Lo mau balas perlakuan gue dulu ke lo?"
"Ga, kenapa lo malah berpikir kayak gitu?" Tegas Laura yang bikin gue ga yakin yang ia katakan benar atau engga.
"Gue ga mau lo merasa ga nyaman dan jauhin gue sama seperti dulu."
"Gue ga akan jauhin lo"
"Jadi, apa gue boleh bersikap seperti dulu ke lo?"
"Selama lo ga memfitnah gue dengan kabar yang enggak-enggak, ga masalah."
"Makasih, Tory." Balas Laura sambil tersenyum senang. Ia bahkan mengambil garpu di atas piring yang gue pegang. Memotong kecil kue dan menyuapkannya ke gue.
Fuck! Apa gue bisa menarik kembali ucapan gue? Otaknya sekarang lebih cerdas bikin gue jatuh dalam jebakannya. Entah ia terlalu cerdas atau gue yang lemah terhadapnya sampai jatuh dalam manipulasinya. Anehnya, gue ga merasa kesal. Malah gue merasa Laura semakin menarik.
*******
Komentar
Posting Komentar