Langsung ke konten utama

Tory - Part 12

 Malam ini oma meminta gue untuk mengajak Laura makan malam di rumah. Meskipun gue ga tau tujuan oma untuk bertemu dengan Laura, tetap aja gua harus waspada setelah oma menunjuk keberpihakannya. Gue khawatir oma malah menyakiti Laura.

Gue berharap Laura menolak undangan dari oma. Sebaliknya, ia malah setuju. Ia bahkan menyakinkan gue untuk ikut menyetujui ajakan oma. 

Takut gue akan menolak oma dengan berbagai alasan, Laura menjemput gue di tempat kerja. Karena itu rapat sore ini dipercepat. Gue ga mau Laura menunggu lama di ruangan gue. Ia pasti bosan sudah menunggu selama 15 menit.

"Permisi, Pak" Thesa berdiri di depan pintu ruangan gue. "Proposal project M saya letakan di atas meja Bapak."

"Baik. Terima kasih."

Thesa membuka pintu untuk gue dengan David mendorong kursi roda masuk ke dalam. Laura yang tadinya membaca majalah, meletakan majalah ke atas meja dan berdiri menghampiri gue.

"Pekerjaan gue sudah selesai." Lapor gue ke Laura. Melihat wajahnya bikin kangen gue hilang. Seakan kami ga bertemu sangat lama. "Ayo, kita pergi."

"Lo ga mau siap-siap dulu?" 

"David akan membereskan semuanya." David sudah terbiasa menyimpan laptop dan berkas penting dan mengirimnya ke rumah. Bahkan kalau ada pekerjaan penting seperti proposal project yang sedang kami tangani, ia akan menginap di rumah untuk membahas pekerjaan. 

"Kalau begitu kita pergi sekarang?" 

"Iya" 

"Biar aku saja," Laura mengambil alih pekerjaan David dan mendorong kursi roda ke arah pintu sebelum David melakukannya. 

Seperti biasa Laura mengendarai mobil sendiri jika ada janji pribadi dengan gue. Membantu gue mengarahkan kursi roda ke kursi penumpang. Menyimpan kursi roda di bagasi mobilnya setelah gue duduk di kursi penumpang. Lalu mengemudikan mobil keluar area gedung perusahaan. 

Kami menuju rumah oma yang bersebelahan dengan rumah gue. Gue berharap oma ga hanya mengundang kami, tetapi juga mengundang papi mami. Kalau ada papi, oma ga akan berani macam-macam ke Laura.

Mobil Laura berhenti di garasi sesuai petunjuk gue. Ada lift di garasi rumah opa dan oma. Memudahkan gue naik ke lantai atas tanpa menggunakan tangga.

Laura membantu mengeluarkan kursi roda dari bagasi dan mendekatkannya di kursi penumpang. Gue mengangkat tubuh gue dan duduk di kursi roda yang di pegang kuat oleh Laura.

"Makasih, sayang."

"Sama-sama" Laura menutup pintu mobil, mengambil hadiah yang ada di kursi belakang mobil dan mendorong kursi ke arah lift. Menekan tombol G lantai dasar rumah Opa. Mereka pasti sudah menunggu kami di ruang tengah.

"Gue harap opa dan oma lo suka dengan hadiah dari gue"

"Jangan khawatir. Opa selalu menghargai pemberian terutama lo satu-satunya yang gue kenalin ke mereka."

Ding! Pintu lift terbuka. Seorang asisten rumah tangga kepercayaan Opa, Pak Juanto sudah menunggu kami di depan pintu lift.

"Tuan Tory sudah di tunggu tuan besar dan nyonya besar di ruang makan." 

"Di ruang makan?" Gue melirik jam tangan gue yang masih menunjuk 5 menit lagi pukul 5 sore.

"Sejak nyonya sakit, jam makan dimajukan ke jam 5."

Huh! Lalu kenapa gue diberitahu makan malam pukul 6? Kalau gue ga pulang kerja lebih cepat dan berinisiatif untuk datang sejam lebih awal dari janji pertemuan, mungkin Laura akan dipojokan dan disalahkan karena tidak disiplin oleh Opa. Opa tidak suka dengan orang yang tidak tepat waktu apalagi terlambat datang jam makan di rumah ini.

"Opa, oma." Sapa gue berpura-pura tetap ramah. Terlihat wajah terkejut oma akan kehadiran kami terutama Paris yang duduk di sebelah oma.

Berharap papi mami hadir ternyata orang yang ga gue harapkan malah hadir! Apapun alasannya, mengundang Paris ikut makan saat ada Laura jelas sangat menolak akan hubungan kami!

"Pak Raden, Bu Arsi" Sapa Laura berdiri di sebelah gue. "Ini untuk Bapak dan Ibu." Terdengar suara gugup Laura pertama kali bertemu dengan Opa dan Oma.

"Terima kasih." Opa memberi tanda asistennya untuk menerima hadiah dari Laura. "Ayo duduk" Ajak Opa sambil menunjuk tempat untuk gue dan Laura di sisi kiri Opa.

"Maaf, kami terlambat Opa." Opa hanya mengangguk.

"Siapkan hidangan." Perintah opa pada ART yang sudah berdiri di ruang makan.

"Baik, Tuan"

Tak lama semua hidangan disajikan di atas meja makan. Opa memberi tanda untuk menyantap hidangan. Suara hening tanpa ada seorang pun berbicara. Hanya ada suara detingan pelan sendok dan garpu.

Opa tidak suka ada orang berbicara saat makan. Bagi opa, menyantap makanan harus tenang sampai selesai. Jika ingin berbicara dapat dilakukan setelah selesai makan di ruang tengah.

Semua peraturan di rumah opa tentu sudah gue jelaskan ke Laura. Memintanya untuk toleran mengikuti aturan selama berkunjung di rumah opa.

Beruntung di rumah gue ga punya aturan yang begitu ketat seperti di rumah opa. Gue berjanji pada Laura setelah makan malam di rumah ini, gue akan mengajaknya ke rumah gue. Mengenalkannya ke papi. 

Papi lebih fleksibel dibandingkan opa sebagai kepala keluarga. Asalkan orang yang datang ga melakukan hal yang menyakiti orang rumah dan bersikap sopan, papi ga mempermasalahkan apapun.

Setelah makan malam selesai, opa mengajak kami duduk di ruang tengah. Gue ga sabar dengan tujuan oma tetapi gue juga khawatir apa yang akan dilakukan opa demi oma.

"Laura ternyata cantik. Oma dengar dari Paris kamu akan main film lagi." Puji oma jelas terdengar ga tulus. 

"Iya, film terakhir saya oma. Saya berniat untuk berhenti dari dunia entertainment."

Laura sudah memberitahu rencananya. Ia berniat untuk bekerja di perusahaan papinya. Membantu perusahaan papinya sekaligus belajar untuk membuka bisnisnya sendiri.

"Sayang, ya. Apa kamu tidak menyesal? Kebanyakan orang seperti kalian bilang berhenti tapi beberapa bulan balik kembali."

"Saya berniat sungguh-sungguh berhenti. Terutama nanti jika saya jadi istri Tory." Jawab Laura tenang seakan ga peduli dengan nada sindiran dari oma. 

Gue melirik tatapan tajam oma yang ga suka dengan jawaban Laura. Gue ga perlu memperhatikan Paris. Ia sudah pasti geram.

"Istri Tory? Apa kamu pantas?" 

"Laura lebih dari pantas untuk jadi aku, oma." Jawab gue tetap dengan nada ramah tetapi dalam hati kesal dengan pertanyaan oma yang menyakiti Laura.

"Papi dan mami juga setuju hubungan kami ke jenjang pernikahan." Lanjut gue seperti menjatuhkan bom kepada oma dan Paris. 

"Mami kamu setuju?" Ucap oma ga percaya. 

"Iya, papi mami berencana mau bertemu dengan orang tua Laura."

"Oma tidak setuju!" Tolak oma dengan suara keras.  "Panggil Bianca kemari! Aku mau bicara dengannya!" Perintah oma pada Pak Juanto yang langsung dilaksanakan. 

"Tenang, oma." Paris mengusap punggung oma bahkan opa memberikan minuman pada oma agar tenang. "Ka Tory, harusnya kakak ga boleh bikin oma emosi."

"Lihat! Paris saja perhatian dengan oma! Kamu malah egois pilih wanita yang tidak jelas ini buat penyakit oma kambuh!"

"Tory ga berniat bikin oma kambuh. Tory hanya ingin memberitahu oma siapa wanita yang Tory ingin nikahi."

"Oma tidak akan pernah setuju hubungan kamu dengan wanita ini! Paris harus menikah dengan kamu dan jadi bagian keluarga kita!"

"Oma, kalau oma mau Paris jadi bagian keluarga kita, bukannya oma selama ini angkat dia jadi cucu oma dan itu sudah cukup. Tapi kalau harus menikah denganku, aku menolak."

"Jaga ucapan kamu di depan oma!" Bentak opa murka. "Turuti saja oma mu! Kalau sampai ada apa-apa dengan oma, opa tidak akan memaafkan kalian!"

"Ada apa papi mami panggil Bianca?" Tanya mami yang baru datang sambil melirik ke arah gue. 

"Apa benar kamu mau bertemu dengan orang tua wanita itu bicarakan pernikahan mereka?" Tanya oma pada mami dengan nada tinggi.

Mami menoleh ke arah gue dan Laura. "Tory, tolong ajak Laura ke rumah kita." Perintah mami yang gue turuti. Gue ga mau berlama-lama mendengar kata-kata menyakitkan hati Laura. 

Lebih baik gue pergi daripada gue durhaka melawan opa dan oma. 

"Maaf, opa dan oma bikin lo sakit hati dengan perlakuan mereka." Ucap gue saat Laura mengemudikan mobilnya keluar dari kediaman opa.

"Ga apa-apa. Tapi mami lo gimana?"

"Tenang aja. Mami akan nenangin opa dan oma. Bagaimana pun mami putri satu-satunya mereka."

Kami masuk ke dalam halaman rumah gue. meminta Laura menghentikan mobil di garasi. Fasilitas di rumah gue ga jauh beda seperti rumah oma. Memilki lift yang awalnya untuk memudahkan opa dan oma untuk naik ke atas tanpa perlu menggunakan tangga.

"Malam Pi" Sapa gue pada papi yang duduk di ruang tengah sambil baca majalah dengan minuman di atas meja di hadapannya.

"Selamat malam om" Sapa Laura yang dibalas anggukan oleh papi.

"Duduk" 

Laura mendorong kursi roda di pinggir sofa. Gue yang seharian menggunakan kursi roda akhirnya bisa duduk nyaman di sofa yang empuk.

"Papi dengar kalian diundang makan malam di rumah opa mu"

"Iya"

"Lalu kenapa mami kamu dipanggil ke sana?"

Kami hanya diam ga menjawab pertanyaan papi. "Oma mu berpihak ke Paris?" Tebak papi yang gue balas dengan anggukan.

"Tory maunya menikah dengan Laura." Jawab gue yang lagi-lagi dibalas anggukan oleh papi. 

"Sabtu ini luangkan waktu kalian. Papi akan bicara soal lamaran dengan orang tua Laura."

Tentu aja ini kabar yang bikin gue senang hari ini. "Makasih, pi."

"Kenapa malah terima kasih. Kalian sudah dewasa. Kami sebagai orang tua hanya bisa mengantarkan kehidupan kalian sampai kalian menikah."

"Setelah kamu menikah, Kamu akan jadi kepala keluarga. Kamu harus bertanggung jawab hidup Laura dan anak kalian nantinya. Jangan biarkan orang lain menentukan pilhan hidup kalian sekalipun orang tua kalian."

"Kami mengerti, pi. Tory akan jadi kepala keluarga yang bertanggung jawab sama seperti papi."

"Itu bagus." Papi mengangguk puas dengan ucapan gue. "Kalian pasti masih lapar."

"Bu Siti, tolong siapkan makanan ringan buat Tory dan Laura." Bu Siti orang yang dipercaya papi di rumah ini. Statusnya sama seperti Pak Juanto di rumah opa sebagai kepala ART.

"Baik, pak. Segera saya siapkan."

"Papi tau kalau gue ga pernah bisa makan kenyang di rumah opa." Bisik gue ke Laura yang dibalas dengan senyuman.

"Laura, om harap kejadian yang dulu semua berlalu. Sekarang status kamu dan Tory bukan hanya pacaran main-main. Kamu dan keluarga kamu sudah menjadi bagian keluarga om. Om tidak mau masih ada yang menyimpan dendam."

"Laura ngerti maksud om dan aku juga setuju dengan perkataan om."

"Soal sikap opa dan oma Tory juga tidak perlu kamu pikirkan. Kakek nenek Tory setuju dengan hubungan kalian. Mereka ingin kalian segera melangsungkan pernikahan tahun ini."

"Siapa yang kasih kabar kakek nenek, pi?"

"Mami kamu. Mami minta restu kakek nenek kamu sekaligus meminta kakek untuk menjadi saksi pernikahan kalian."

Senang. Mendengar kabar dari papi bikin gue bahagia pernikahan gue dan Laura ga akan terhalangi karena kakek dan nenek di pihak kami. Apapun halangan dari opa dan oma, kakek nenek akan membela kami bahkan gue yakin mereka akan melindungi Laura.

Kami mengobrol sambil makan dengan papi. Sampai Bu Siti memberikan ponsel ke papi. Papi berdiam lama lalu memberikan ponsel kembali ke Bu Siti. Gue bisa melihat perubahan mood papi setelah menerima telepon. 

"Laura, sebaiknya kamu menginap malam ini. Ini sudah larut malam." 

Gue melirik jam dinding yang masih menunjuk pukul 7.35 malam. Pasti ada sesuatu yang mengharuskan Laura menginap.

"Tapi om, ini masih belum.." Gue menyentuh tangan Laura. Memberi tanda kalau ia menyetujui permintaan papi. "Baik, om."

"Om mau kamu mulai besok tinggal di rumah ini sampai kalian menikah." 

"Tinggal di sini om?"

"Ya, kamu tidak perlu khawatir. Anggap saja seperti rumah sendiri. Di sini tidak ada peraturan apalagi jam bangun ataupun tidur. Kalian sudah dewasa. Om tidak akan mengatur kalian. kecuali satu. Tidak boleh sekamar."

Gue merasa seperti anak kecil diceramahi papi. Terutama mengerti sangat jelas maksud kalimat terakhir papi. 

"Tetap saja om Laura ga enak tinggal di sini."

"Di sini kamu aman." Jawab papi membungkam kami. Apa yang gue khawatirkan terjadi. Gue ga mau terjadi hal yang mengerikan ke Laura.

"Lo dengar papi, ya. Lo harus tinggal di sini." 

"Baik." Laura pasti sudah tahu maksud perkataan papi. 

"Besok Tory dan orang kepercayaan om akan bantu membawa barang-barang kamu."

"Makasih, om."

"Tidak perlu berterima kasih. Om sudah bilang kamu bagian dari keluarga om."

"Bu Siti tolong antar Laura ke lantai 3 seberang kamar Tory."

"Baik. Mari nona Laura." Ajak Bu Siti mempersilakan Laura berjalan lebih dahulu ke arah lift. 

"Oma kamu masuk rumah sakit." Ucap papi setelah Laura masuk ke dalam lift bersama Bu SIti. 

"Apa sakit oma serius?" Yang gue khawatirkan bukan hanya keadaan oma tetapi efek domino sakitnya oma. 

"Kabar mami dari hasil pemeriksaan dokter, jantung oma baik-baik saja." 

"Oma berpura-pura penyakitnya kambuh." Kecewa. Ya, sangat kecewa! Oma sengaja agar membangkitkan amarah opa! 

"Ya. Opa kamu tidak peduli mau itu benar atau pura-pura. Ia akan melakukan apapun caranya supaya kamu dan Laura berpisah. Karena itu kamu harus ekstra menjaga Laura. Opa kamu bisa nekat sampai melakukan tindak kejahatan supaya capai tujuannya."

"Tory ngerti, pi."

Menyesal? Ya, gue menyesal sudah memposisikan Laura dalam bahaya. Kalau harus melepaskannya... Ga! Daripada melepaskan Laura, gue memilih melindunginya! 

"Kamu tunggu 4 hari lagi. Hari Jumat kakek dan nenek kamu datang. Setidaknya mereka bisa bernegosiasi dengan opa kamu."

Hubungan Opa dan kakek kurang baik. Saat kak Marvin ingin menikahi kak Livia pun, opa dan oma ga setuju dan jadi masalah. Kakek lah yang bisa membuat opa mengurungkan niat opa memisahkan kak Marvin dan Kak Livia. 

Tetapi karena itulah salah satu alasan kak Marvin memilih tinggal bersama kakek. Kak Marvin ga mau kak Livia mengingat hal yang ga mengenakan jika terlalu sering bertemu dengan opa dan oma. 

Seandainya gue jadi kak Marvin pun, gue melakukan hal yang sama. Tetapi gue ga mungkin tinggal jauh dari papi dan mami karena gue anak mereka satu-satunya yang tinggal di kota ini. Lebih lagi Laura. Gue ga mau memisahkan Laura jauh dari orang tuanya meskipun ia tinggal sendiri di apartemennya walau masih satu kota dengan orang tuanya. Laura putri satu-satunya di keluarganya. 

Gue hanya berharap opa ga melakukan hal yang membuat kami semua menjauh dari mereka. 

*****

 Previous         Index        Next

Komentar

Postingan populer dari blog ini

NEMESIS

RyuKuni Game Chapter 2

Ryukuni Game Chapter 1